Regulasi Anti-Deforestasi Uni Eropa: Peluang Pembenahan Tata Kelola Komoditas Indonesia?
Regulasi Anti-Deforestasi Uni Eropa: Peluang Pembenahan Tata Kelola Komoditas Indonesia?
Jakarta - Peraturan Deforestasi Uni Eropa (EUDR) yang kontroversial, ternyata menyimpan potensi positif bagi Indonesia. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menilai bahwa regulasi ini dapat menjadi momentum untuk mendorong agenda keberlanjutan dan memperbaiki tata kelola sektor komoditas di Indonesia.
Kepala Pusat Riset Politik BRIN, Athiqah Nur Alami, menekankan bahwa EUDR berpotensi memperkuat tata kelola sektor komoditas yang selama ini diwarnai berbagai permasalahan, seperti konflik, kolusi bisnis politik, dan kerugian bagi masyarakat adat. Regulasi ini, yang bertujuan mengurangi deforestasi akibat konsumsi komoditas global, mewajibkan tujuh komoditas utama, termasuk kelapa sawit dan karet, untuk bebas deforestasi dan legal secara hukum di negara asalnya.
Namun demikian, EUDR memicu perdebatan sengit, terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia yang merupakan eksportir utama minyak sawit. Beberapa pihak bahkan menganggapnya sebagai bentuk imperialisme baru atau neokolonialisme, karena dianggap memberatkan petani kecil dan membatasi akses mereka ke pasar global.
Iris Eukema, peneliti dari Universitas dan Riset Wageningen Belanda, menyoroti batas waktu implementasi penuh EUDR pada Desember 2025 yang dinilai terlalu singkat bagi petani dan pengusaha kelapa sawit untuk mempersiapkan diri. Tantangan besar terletak pada petani kecil yang seringkali tidak memiliki hak atas tanah resmi, belum tersertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), dan kesulitan menyediakan data geolokasi.
Selain itu, rantai pasok yang panjang dan kompleks juga mempersulit penerapan prinsip ketertelusuran. Perbandingan negara yang dilakukan EUDR juga menuai kritik karena berpotensi mendiskreditkan reputasi Indonesia sebagai negara berisiko tinggi, yang berakibat pada pemeriksaan yang lebih ketat.
Beberapa pihak menilai EUDR sebagai kebijakan sepihak yang kurang menghargai upaya Indonesia dalam mengurangi deforestasi. Ketidakjelasan bahasa regulasi dan perbedaan definisi hutan antara Indonesia dan Uni Eropa juga menambah kebingungan.
Meski demikian, EUDR dapat menjadi pemicu bagi pemerintah Indonesia untuk mempercepat penyelarasan data kehutanan, termasuk kebijakan satu peta, memperkuat sertifikasi ISPO, dan meningkatkan perlindungan hutan. Namun, risiko pengucilan petani kecil dari rantai pasok ke pasar Eropa tetap menjadi ancaman serius.
Saat ini, sosialisasi EUDR masih minim di kalangan petani kecil dan masyarakat. Bahkan di tingkat akademisi, pemahaman terhadap regulasi ini masih terbatas. Sejumlah pengusaha besar menyatakan kesiapan mereka menghadapi EUDR, meskipun masih mempertanyakan implementasinya. Namun, mereka menilai bahwa hilangnya pasar Eropa tidak akan menjadi bencana besar, karena pangsa pasarnya hanya sekitar 10 persen dari total ekspor.
Daftar Tantangan Implementasi EUDR:
- Kesiapan petani kecil terkait hak tanah, sertifikasi ISPO, dan data geolokasi.
- Kompleksitas rantai pasok untuk ketertelusuran.
- Potensi diskreditasi reputasi Indonesia.
- Ketidakjelasan bahasa regulasi dan perbedaan definisi hutan.
- Minimnya sosialisasi EUDR.
Potensi Positif EUDR:
- Mendorong agenda keberlanjutan.
- Memperkuat tata kelola sektor komoditas.
- Mempercepat penyelarasan data kehutanan.
- Memperkuat sertifikasi ISPO.
- Meningkatkan perlindungan hutan.