Gelombang PHK di Perusahaan Cokelat Bekasi Picu Dugaan Pemberangusan Serikat Pekerja

Gelombang PHK di Perusahaan Cokelat Bekasi Picu Dugaan Pemberangusan Serikat Pekerja

Gelombang protes merebak di depan sebuah perusahaan distributor cokelat terkemuka di Jalan Siliwangi, Rawalumbu, Kota Bekasi. Puluhan mantan karyawan melakukan aksi unjuk rasa, menuntut keadilan atas pemutusan hubungan kerja (PHK) yang mereka anggap sepihak dan sarat dengan praktik union busting, atau pemberangusan serikat pekerja. Aksi ini merupakan buntut dari PHK terhadap 24 karyawan, di mana mayoritas merupakan anggota dan pengurus serikat pekerja di perusahaan tersebut.

Menurut penuturan Sucahyadi, salah seorang korban PHK yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Bidang Perusahaan Unit Kerja (PUK), pemecatan ini dilakukan secara tiba-tiba dan tanpa alasan yang mendasar. "Kami tidak pernah menerima surat peringatan sebelumnya, dan tiba-tiba nama kami masuk dalam daftar PHK," ujarnya dengan nada kecewa. Ia menambahkan bahwa para karyawan yang terkena PHK juga tidak menerima kompensasi apapun dari perusahaan.

Para pekerja yang di-PHK menuntut untuk dipekerjakan kembali. Mereka mengklaim telah menempuh berbagai upaya untuk menyelesaikan masalah ini secara internal, termasuk melalui dialog dengan pihak manajemen. Namun, upaya tersebut tidak membuahkan hasil, karena perusahaan bersikukuh dengan keputusan PHK yang dianggap final.

Menyusul kebuntuan tersebut, para pekerja yang terkena PHK kemudian mengadukan masalah ini ke Pemerintah Kota Bekasi, khususnya ke Dewan Pengawas Dinas Tenaga Kerja (Disnaker). Mereka juga melaporkan kasus ini ke Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), dengan harapan agar pemerintah pusat dapat turun tangan dan melindungi hak-hak mereka sebagai pekerja.

Deni Saefudin, karyawan lain yang turut menjadi korban PHK, mengungkapkan kekecewaannya atas perlakuan perusahaan tempat ia mengabdi selama lebih dari dua dekade. Ia merasa bahwa dirinya dan rekan-rekannya telah diperlakukan secara tidak adil, setelah berkontribusi dalam membangun perusahaan dari awal hingga mencapai kesuksesan seperti saat ini. "Kami berharap Bapak Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Bapak Immanuel Ebenezer, dapat memberikan perhatian khusus terhadap kasus ini," tuturnya dengan nada penuh harap.

Kronologi PHK sepihak ini bermula pada tanggal 14 April 2025, ketika 24 karyawan dipanggil secara mendadak oleh pihak Sumber Daya Manusia (SDM) dan atasan mereka. Dalam pertemuan tersebut, para karyawan langsung diberikan surat pemutusan hubungan kerja tanpa adanya pemberitahuan atau sosialisasi sebelumnya. Surat tersebut menyatakan bahwa masa kerja mereka akan berakhir pada tanggal 15 April 2025. Merasa diperlakukan tidak adil, para karyawan menolak untuk menandatangani surat tersebut.

Setelah penolakan tersebut, serikat pekerja mencoba untuk membuka jalur dialog informal dengan pihak manajemen. Namun, upaya ini kembali menemui jalan buntu, karena perusahaan tetap berpegang pada keputusan PHK yang dianggap final dan tidak dapat dinegosiasikan. Akibatnya, sejak tanggal 28 Mei 2025, seluruh karyawan yang terkena PHK sepihak telah dinonaktifkan dari sistem absensi perusahaan dan tidak lagi menerima gaji.

Dari total 24 karyawan yang dipecat, 23 di antaranya merupakan anggota aktif dan pengurus serikat pekerja perusahaan. Hal ini semakin memperkuat dugaan adanya praktik union busting yang dilakukan oleh perusahaan, dengan tujuan untuk melemahkan atau bahkan membubarkan serikat pekerja.

Kasus ini masih terus bergulir, dan para pekerja yang terkena PHK bertekad untuk terus berjuang demi mendapatkan keadilan dan hak-hak mereka sebagai pekerja. Mereka berharap agar pemerintah dan pihak-pihak terkait dapat memberikan perhatian serius terhadap kasus ini, serta mengambil tindakan tegas terhadap perusahaan yang terbukti melakukan pelanggaran.

Berikut adalah poin-poin penting terkait kasus ini:

  • Perusahaan distributor cokelat di Bekasi diduga melakukan union busting.
  • 24 karyawan di-PHK, di mana 23 di antaranya adalah pengurus dan anggota serikat pekerja.
  • PHK dilakukan secara sepihak tanpa surat peringatan atau kompensasi.
  • Para pekerja telah mengadukan kasus ini ke Pemkot Bekasi dan Kemenaker.
  • Para pekerja menuntut untuk dipekerjakan kembali.