Deflasi Mei 2025: Analisis Ekonomi dan Dampak pada Daya Beli Masyarakat

Deflasi Mei 2025: Analisis Ekonomi dan Dampak pada Daya Beli Masyarakat

Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan adanya deflasi sebesar 0,37 persen pada bulan Mei 2025. Fenomena ini memicu berbagai analisis ekonomi, terutama terkait dengan daya beli masyarakat dan kondisi perekonomian secara keseluruhan.

Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, berpendapat bahwa deflasi ini mengindikasikan daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih pasca periode Lebaran. Meskipun inflasi inti masih menunjukkan pertumbuhan sebesar 2,4 persen secara tahunan (year-on-year/yoy), level ini belum mencerminkan permintaan domestik yang ekspansif. Penurunan Indeks Harga Konsumen (IHK) dari 108,47 pada April menjadi 108,07 pada Mei menjadi bukti nyata terjadinya deflasi.

Sektor makanan, minuman, dan tembakau menjadi kontributor utama deflasi dengan penurunan mencapai 1,40 persen (mtm) dan andil terhadap deflasi umum sebesar 0,41 persen. Beberapa komoditas yang mengalami penurunan harga signifikan antara lain cabai merah, cabai rawit, dan bawang merah. Koreksi harga ini sejalan dengan prediksi sebelumnya bahwa harga pangan strategis akan mengalami penurunan setelah mengalami lonjakan selama Ramadan dan Idul Fitri.

Data BPS juga mengungkapkan bahwa inflasi tahunan pada kelompok informasi dan komunikasi tercatat negatif sebesar 0,28 persen. Rendahnya inflasi inti ini mengindikasikan bahwa daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih dan belum merata di berbagai lapisan masyarakat. Kelompok masyarakat menengah ke bawah dinilai belum mendapatkan dukungan fiskal yang memadai.

Josua Pardede menambahkan bahwa deflasi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor. Kuatnya sisi suplai seiring dengan perbaikan distribusi logistik menjadi salah satu pendorong deflasi. Selain itu, permintaan masyarakat yang lemah akibat daya beli yang tertahan, terutama pada kelompok menengah ke bawah, juga turut berkontribusi.

Dari sisi eksternal, data neraca perdagangan April 2025 menunjukkan surplus yang lebih rendah dari ekspektasi, yaitu hanya 160 juta dolar AS. Meskipun ekspor tumbuh 5,76 persen (yoy), impor melonjak hingga 21,84 persen (yoy). Peningkatan impor ini didorong oleh lonjakan impor logam mulia dan perhiasan yang mencapai 253,6 persen (yoy). Lonjakan impor logam mulia ini diduga terkait dengan akumulasi cadangan emas di tengah ketidakpastian global, termasuk kekhawatiran pasar terhadap potensi kebijakan tarif balasan dari pemerintahan Amerika Serikat.

Penurunan ekspor beberapa komoditas utama seperti bahan bakar mineral (batubara) dan logam mulia juga turut mempersempit peluang surplus yang lebih tinggi. Ketergantungan pada ekspor komoditas mentah dan fluktuasi harga global membuat neraca dagang lebih rentan.

Secara keseluruhan, deflasi Mei 2025 merupakan fenomena kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik dari sisi domestik maupun eksternal. Pemulihan daya beli masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah, menjadi kunci untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.