Praperadilan Sekjen PDIP Gugur: Polemik Cepatnya Proses Hukum dan Tuduhan Intervensi Politik
Praperadilan Sekjen PDIP Gugur: Polemik Cepatnya Proses Hukum dan Tuduhan Intervensi Politik
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah memutuskan gugurnya permohonan praperadilan yang diajukan oleh Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto. Keputusan hakim tunggal ini menuai kontroversi dan kecaman keras dari pihak PDIP, yang menilai proses hukum tersebut berlangsung terlalu cepat dan sarat dengan dugaan intervensi politik.
Guntur Romli, politikus senior PDIP, secara tegas menyatakan penyesalannya atas gugurnya praperadilan tersebut. Melalui pesan singkat, ia menyebut keputusan ini sebagai pengurangan hak-hak Hasto dan merupakan bentuk penghinaan terhadap lembaga peradilan. Guntur bahkan menuduh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sengaja tidak hadir pada sidang praperadilan pertama untuk memastikan gugurnya permohonan tersebut. Ia juga menuding KPK mempercepat proses pelimpahan berkas perkara ke pengadilan, menyebutnya sebagai kasus tercepat dalam sejarah KPK. Pernyataan ini semakin memperkuat dugaan adanya upaya untuk mengesampingkan hak-hak hukum Hasto Kristiyanto.
Lebih jauh, Guntur Romli menyoroti dugaan diskriminasi hukum. Ia membandingkan kecepatan penanganan kasus Hasto dengan lambannya penanganan kasus korupsi lain, seperti kasus mafia migas yang merugikan negara hingga miliaran rupiah. Perbedaan kecepatan penanganan kasus ini, menurut Guntur, menunjukkan adanya tebang pilih dan akal-akalan dalam penegakan hukum. Ia pun melontarkan dua opsi sebagai solusi atas situasi ini: pembubaran KPK atau penguatan KPK tanpa intervensi politik. Pernyataan ini mencerminkan kekecewaan mendalam dan ketidakpercayaan PDIP terhadap kinerja KPK saat ini.
Latar Belakang Kasus Hasto Kristiyanto:
Kasus yang melibatkan Hasto Kristiyanto berakar dari operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada tahun 2020 yang menjerat beberapa individu, termasuk Wahyu Setiawan (mantan Komisioner KPU), Agustiani Tio, Saeful, dan Harun Masiku (caleg PDIP). Wahyu Setiawan telah divonis bersalah menerima suap untuk melobi agar Harun Masiku menjadi anggota DPR melalui Pergantian Antarwaktu (PAW). Namun, Harun Masiku sendiri hingga kini masih menjadi buronan.
Pada akhir tahun 2024, KPK menetapkan Hasto Kristiyanto dan pengacara Donny Tri Istiqomah sebagai tersangka baru. KPK menduga Hasto berupaya menggagalkan Riezky Aprilia, yang memperoleh suara terbanyak kedua, menjadi anggota DPR lewat jalur PAW setelah meninggalnya Nazaruddin Kiemas. Hasto diduga meminta KPU segera melaksanakan putusan Mahkamah Agung (MA) terkait PAW agar Harun Masiku dapat masuk DPR. Selain itu, Hasto juga diduga memerintahkan Donny Tri Istiqomah melobi Wahyu Setiawan dan mengantar uang suap. KPK menduga sebagian uang suap tersebut berasal dari Hasto.
Lebih lanjut, KPK juga menduga Hasto terlibat dalam upaya perintangan penyidikan Harun Masiku, termasuk memerintahkan Harun Masiku untuk merendam handphonenya sebelum melarikan diri dan memerintahkan seorang pegawai untuk melakukan hal yang sama. Dugaan lain adalah Hasto meminta saksi untuk memberikan kesaksian palsu kepada KPK. Tuduhan-tuduhan ini merupakan dasar bagi penetapan Hasto Kristiyanto sebagai tersangka.
Gugurnya praperadilan Hasto Kristiyanto telah menimbulkan pertanyaan besar tentang independensi lembaga penegak hukum dan keadilan proses hukum di Indonesia. Pernyataan-pernyataan dari pihak PDIP semakin memperkeruh situasi dan menuntut klarifikasi lebih lanjut dari KPK mengenai proses hukum yang berlangsung cepat dan kontroversial ini.