Keakraban Gibran dan Megawati di Hari Lahir Pancasila: Mencairnya Ketegangan Pasca-Pilpres 2024?

Pertemuan Gibran dan Megawati: Sinyal Positif di Tengah Perbedaan Politik?

Momentum peringatan Hari Lahir Pancasila di Gedung Pancasila, Jakarta Pusat, pada 2 Juni 2025 lalu menjadi sorotan publik, khususnya terkait interaksi antara Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dan Presiden ke-5 Republik Indonesia, Megawati Soekarnoputri. Pertemuan ini menarik perhatian karena latar belakang Gibran sebagai mantan kader PDI-P yang memilih jalan berbeda pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.

Kendati demikian, suasana pertemuan antara Gibran dan Megawati, bersama sejumlah tokoh penting lainnya, terpancar hangat dan penuh keakraban. Ketua MPR Ahmad Muzani mengungkapkan bahwa keduanya sempat bercanda dalam ruang tunggu sebelum upacara dimulai. Kehadiran tokoh-tokoh seperti Presiden Prabowo Subianto, Wakil Presiden ke-6 RI Try Sutrisno, serta Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla, turut menambah semarak suasana.

Menurut Muzani, Gibran bahkan menanyakan kabar kesehatan Megawati, menunjukkan perhatiannya kepada tokoh senior tersebut. Hal ini menimbulkan spekulasi mengenai kemungkinan mencairnya hubungan antara Megawati dan keluarga besar Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Opini Pengamat: Hubungan Personal Baik, Isu Kompleks di Belakang Layar

Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis, Agung Baskoro, menilai bahwa hubungan personal antara Gibran dan Megawati sebenarnya terjalin dengan baik. Menurutnya, permasalahan utama terletak pada dinamika antara PDI-P dan Presiden Jokowi.

"Terkait Mas Gibran, secara personal relasi dengan Ibu Mega baik-baik saja. Karena problem yang selama ini muncul sifatnya tak langsung, karena Gibran tak memiliki 'kuasa' saat kompetisi Pilpres 2024 berlangsung," ujar Agung.

Agung berpendapat bahwa merajut kembali hubungan antara Megawati dan Jokowi akan menjadi tantangan tersendiri, bahkan lebih kompleks dibandingkan dengan hubungan Megawati dan Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Oleh karena itu, jika PDI-P memutuskan untuk bergabung atau menjadi mitra strategis pemerintah Prabowo Subianto, hal ini lebih didasarkan pada pertimbangan dinamika politik dan isu hukum yang tengah dihadapi partai menjelang kongres, bukan semata-mata karena keberadaan Gibran.

Agung juga menekankan pentingnya melihat momen keakraban antara Megawati dan Gibran sebagai bentuk kedewasaan berdemokrasi, mengingat keduanya hadir dalam acara formal kenegaraan.

Perspektif Lain: Friksi Merenggang, Namun Tak Mengubah Fakta

Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno, berpendapat bahwa pertemuan Gibran dan Megawati mengindikasikan berkurangnya friksi pasca-Pilpres 2024. Ia melihat adanya kemungkinan ketegangan antara Megawati dan keluarga Jokowi mulai mereda.

"Mungkin karena seiring dan sejalan waktu pemilu sudah berlalu hampir setahun lebih, sepertinya memang konflik politik antara PDI-P dengan Gibran dan keluarga besarnya tidak terlampau sekuat waktu pilpres," ujar Adi.

Namun, Adi mengingatkan bahwa keakraban tersebut tidak serta merta menyelesaikan permasalahan yang ada. Status Gibran dan keluarganya yang telah dipecat dari PDI-P tetap menjadi fakta yang tak terelakkan. Ia berpandangan bahwa PDI-P tidak mungkin mengusung Gibran dalam pilpres mendatang, karena partai memiliki pertimbangan lain selain sekadar menang atau kalah, yaitu menjaga marwah partai.

Secara keseluruhan, pertemuan antara Gibran dan Megawati menjadi simbol harapan akan mencairnya hubungan politik di antara tokoh-tokoh penting bangsa. Meskipun masih ada perbedaan pandangan dan tantangan yang kompleks, momen ini memberikan pesan positif kepada publik tentang pentingnya kerukunan dan kedewasaan dalam berdemokrasi.