Muzdalifah dan Murur: Tinjauan Fikih dan Implementasi dalam Ibadah Haji

Muzdalifah, sebuah area terbuka yang luasnya mencapai 12,25 kilometer persegi, dikenal juga sebagai Masy'aril Haram. Tempat ini menjadi titik krusial dalam rangkaian ibadah haji, di mana jutaan jemaah berkumpul pada malam 9 Zulhijah, yang pada tahun 2025 bertepatan dengan Kamis, 5 Juni, hingga dini hari 10 Zulhijah, atau Jumat, 6 Juni. Jemaah beristirahat di area terbuka ini, tanpa tenda, beratapkan langit malam.

Selain jemaah, Muzdalifah juga dipenuhi oleh bus-bus yang mengantar mereka dari Arafah dan kemudian membawa mereka ke Mina setelah tengah malam. Berkaitan dengan prosesi ini, muncul pertanyaan mengenai hukum melaksanakan murur, yaitu melintas di Muzdalifah tanpa berhenti.

Kementerian Agama RI, merujuk pada Keputusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), menjelaskan bahwa murur adalah mabit (bermalam) yang dilakukan dengan hanya melintas di Muzdalifah setelah wukuf di Arafah. Dalam pelaksanaannya, jemaah tetap berada di dalam bus saat melewati Muzdalifah, dan bus tersebut langsung menuju tenda di Mina.

Terdapat perbedaan pendapat ulama mengenai hukum murur. Pendapat pertama menyatakan bahwa murur dianggap sah jika jemaah tetap berada di dalam kendaraan dan menunggu di Muzdalifah hingga melewati tengah malam. Jika belum melewati tengah malam, maka mengikuti pendapat bahwa mabit di Muzdalifah hukumnya sunah.

Kementerian Agama menekankan bahwa kondisi di Muzdalifah dapat menjadi alasan kuat (uzur) untuk meninggalkan mabit. Jemaah yang melakukan murur dianggap sah hajinya dan tidak dikenakan dam (denda). Hal ini sejalan dengan prinsip keringanan (rukhsah) dalam Islam, di mana jemaah lansia, disabilitas, dan yang berisiko tinggi diberikan keringanan sesuai syariat.

KH M Ulinnuha, seorang Mustasyar Diny Petugas Penyelenggara Haji (PPIH), menjelaskan bahwa skema murur dibolehkan dalam fikih haji, sehingga ibadah haji tetap sah. Meskipun mabit di Muzdalifah merupakan bagian dari wajib haji, jemaah dengan uzur fisik, lansia, atau alasan syar'i lainnya diperbolehkan untuk tidak bermalam di sana.

Ulinnuha menambahkan, berdasarkan riwayat sahih, beberapa sahabat yang bertugas memberi makan, menggembala, atau perempuan yang khawatir haid lebih awal, diizinkan oleh Nabi Muhammad SAW untuk tidak mabit di Muzdalifah. Mazhab Hanafi juga menyatakan bahwa mabit di Muzdalifah hukumnya sunah. Salah satu fatwa ulama Mesir menyebutkan bahwa murur dibolehkan karena mustahil bagi jutaan jemaah untuk menempati Muzdalifah dalam waktu bersamaan. Hal ini menjadi dasar bagi PPIH untuk menerapkan murur secara selektif, terutama bagi jemaah lansia, disabilitas, dan yang memiliki uzur.

Kementerian Agama menargetkan lebih dari 50 ribu jemaah haji untuk mengikuti skema murur. Diharapkan, langkah ini dapat mengurangi kepadatan di Muzdalifah, mempermudah pergerakan jemaah ke Mina, dan mengurangi potensi kelelahan.