Kewaspadaan Ditingkatkan: Kenaikan Kasus COVID-19 di ASEAN Memicu Respons di Indonesia
Indonesia Siaga di Tengah Lonjakan COVID-19 di Beberapa Negara ASEAN
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) meningkatkan kewaspadaan terhadap potensi penyebaran COVID-19 di dalam negeri, menyusul laporan peningkatan kasus di beberapa negara di kawasan Asia Tenggara. Meskipun data internal menunjukkan tren penurunan kasus di Indonesia, para ahli epidemiologi tetap menyuarakan kehati-hatian, mempertanyakan validitas data penurunan tersebut mengingat perubahan sistem pengawasan COVID-19 yang tidak lagi seketat masa pandemi.
Menurut keterangan Pelaksana tugas (Plt) Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes RI, Murti Utami, negara-negara seperti Thailand, Malaysia, Singapura, dan Hong Kong mengalami peningkatan kasus COVID-19. Meski demikian, Murti menambahkan bahwa tingkat penularan dan angka kematian akibat COVID-19 di negara-negara tersebut masih relatif rendah. Data Kemenkes RI menunjukkan penurunan kasus konfirmasi positif COVID-19 di Indonesia setiap minggunya, dengan rasio positif sebesar 0,59% pada awal Mei. Terlepas dari data tersebut, Kemenkes RI telah mengeluarkan surat edaran yang ditujukan kepada dinas kesehatan daerah dan rumah sakit untuk meningkatkan kewaspadaan dini terhadap potensi lonjakan kasus.
Realita di Lapangan dan Tantangan Pengawasan
BBC News Indonesia melakukan peninjauan lapangan dan wawancara dengan sejumlah epidemiolog serta pakar kesehatan masyarakat untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai situasi COVID-19 di Indonesia. Kunjungan ke beberapa rumah sakit secara acak menunjukkan penurunan signifikan dalam jumlah pasien COVID-19 yang dirawat. Di RSUP H. Adam Malik, Medan, misalnya, ruang poli COVID-19 terlihat kosong, dan pihak rumah sakit mengklaim terakhir kali merawat pasien COVID-19 pada bulan Juli 2023. Situasi serupa juga dilaporkan dari RS Tebet, Jakarta Selatan.
Data dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta menunjukkan terdapat 38 kasus COVID-19 antara Januari hingga Mei 2025, dengan jumlah kasus tertinggi tercatat pada bulan Januari, yaitu 25 kasus. Namun, epidemiolog dari Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI), Masdalina Pane, mempertanyakan klaim tren penurunan kasus oleh Kemenkes RI. Masdalina berpendapat bahwa sistem pengawasan COVID-19 saat ini tidak memadai untuk mencerminkan kondisi sebenarnya di lapangan, mengingat perubahan dalam sistem pelaporan dan pengujian.
"Dulu, peta [wabah COVID-19] bisa diukur karena semua [orang] yang memiliki gejala dites dan itu ditanggung pemerintah," ujar Masdalina. Ia menambahkan bahwa perubahan sistem pengawasan ini membuat laporan kasus COVID-19 di Indonesia "tidak konsisten" dengan negara-negara lain. Perubahan ini mencakup tidak lagi dibukanya layanan pemeriksaan COVID-19 seperti rapid test dan tes PCR di beberapa rumah sakit. Selain itu, gejala COVID-19 yang menyerupai flu biasa membuat masyarakat cenderung enggan melakukan tes swab.
Surveilans yang Terintegrasi dan Keterbatasan Sistem
Sejak pencabutan status pandemi pada 21 Juni 2023, pengawasan COVID-19 diintegrasikan ke dalam surveilans Influenza-Like Illness (ILI) dan Severe Acute Respiratory Infection (SARI). Fasilitas kesehatan yang mengintegrasikan COVID-19, ILI, dan SARI disebut sentinel, dengan jumlah terbatas. Data WHO menunjukkan peningkatan jumlah fasilitas kesehatan integrasi ini dari 46 pada tahun 2023 menjadi 74 lokasi di seluruh Indonesia pada tahun 2024. Namun, fasilitas kesehatan umum yang bukan bagian dari jaringan sentinel tidak secara rutin melakukan tes COVID-19.
Epidemiolog dari Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko Wahyono, menekankan bahwa terbatasnya rumah sakit yang aktif menerima tes COVID-19 membuat Indonesia rentan terhadap masuknya varian baru. Miko menyebutkan tingginya mobilitas penduduk ke Thailand dan Malaysia meningkatkan kemungkinan varian dari negara-negara tersebut telah masuk ke Indonesia tanpa terdeteksi. Kepala Riset dan Kebijakan CISDI, Olivia Herlinda, menyoroti sejumlah kekurangan dalam sistem surveilans di Indonesia, termasuk sistem pelacakan, deteksi, isolasi, transparansi data, dan pengawasan penyakit menular yang belum mumpuni.
Varian COVID-19 dan Imbauan Kewaspadaan
Menurut laporan Kemenkes RI, varian COVID-19 yang dominan di Thailand adalah XEC dan JN.1. JN.1 juga mendominasi di Hong Kong, sementara LF.7 dan NB.1.8 (turunan JN.1) mendominasi di Singapura. Di Malaysia, varian dominan adalah XEC (turunan JN.1). Di Indonesia, varian yang dominan beredar adalah MB.1.1, yang masih terkait dengan Omicron. Kemenkes RI menekankan bahwa varian Omicron cenderung lebih ringan dibandingkan Delta dan tidak menimbulkan keparahan atau kematian secara langsung.
Para ahli kesehatan mengimbau masyarakat untuk tetap waspada, terutama bagi kelompok rentan seperti lansia, bayi, dan mereka dengan komorbid. Epidemiolog dari Universitas Griffith di Australia, Dicky Budiman, mengingatkan bahwa COVID-19 tetap berbahaya, terutama dalam fase kronisnya yang disebut long COVID. Olivia dari CISDI menekankan pentingnya kewaspadaan dalam menanggapi kenaikan kasus di negara-negara tetangga, mengingat letak geografis yang berdekatan dan tingginya mobilitas lintas negara.
Respons Kementerian Kesehatan
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes RI, Aji Muhawarman, menjelaskan bahwa situasi COVID-19 di Indonesia telah memasuki masa endemi. Ia menekankan bahwa tes massal hanya dilakukan saat situasi pandemi. Meski demikian, Kemenkes RI tetap melakukan langkah antisipatif terhadap potensi lonjakan kasus, termasuk memperketat pengawasan di pintu masuk negara seperti bandara. Kemenkes RI juga kembali mengaktifkan fitur "Satu Sehat Health Pass" sebagai deklarasi kondisi kesehatan bagi pelaku perjalanan. Surat edaran Kemenkes RI lebih ditujukan kepada dinas kesehatan dan rumah sakit untuk meningkatkan kewaspadaan, bukan untuk membuat publik khawatir.