Pakar Psikologi Forensik Soroti Penggunaan Istilah dan Peran Kecacatan dalam Kasus Pelecehan Seksual Difabel
Pakar Psikologi Forensik Soroti Penggunaan Istilah dan Peran Kecacatan dalam Kasus Pelecehan Seksual Difabel
Sidang kasus dugaan pelecehan seksual yang melibatkan terdakwa IWAS alias Agus, seorang difabel, di Pengadilan Negeri Mataram pada Senin, 10 Maret 2025, menghadirkan pakar psikologi forensik, Reza Indragiri, sebagai saksi ahli. Kesaksian Reza memberikan perspektif yang penting terkait penggunaan istilah dalam perundang-undangan dan bagaimana kondisi kecacatan terdakwa dapat dipertimbangkan dalam penentuan hukuman. Reza, dalam keterangannya, menekankan pentingnya pemahaman yang tepat mengenai istilah 'disabilitas' dan 'difabilitas', serta koreksi terhadap istilah 'tindak pidana kekerasan seksual'.
Reza menjelaskan perbedaan mendasar antara 'disabilitas' dan 'difabilitas'. Ia mengkritik penggunaan istilah 'disabilitas' yang menurutnya berkonotasi negatif, merujuk pada 'ketiadaan kemampuan' dan ketergantungan. Sebaliknya, 'difabilitas' menekankan pada kemampuan individu meskipun dengan keterbatasan, menggarisbawahi prinsip 'different ability'. Ia menjelaskan bahwa individu dengan difabilitas, meskipun memiliki keterbatasan fisik atau intelektual, tetap mampu melakukan tindakan, termasuk tindakan kriminal, namun dengan cara yang berbeda. Dengan demikian, asumsi bahwa difabel tidak mungkin melakukan tindak kekerasan seksual adalah keliru.
Lebih lanjut, Reza mengusulkan revisi terhadap istilah 'tindak pidana kekerasan seksual' menjadi 'tindak pidana kejahatan seksual'. Menurutnya, definisi yang lebih luas diperlukan karena kejahatan seksual tidak selalu melibatkan kekerasan fisik. Ia mencontohkan 'grooming behaviour', manipulasi, bujukan, dan taktik lain yang digunakan pelaku untuk mendekati korban. Reza menekankan bahwa ini merupakan perspektif umum mengenai kejahatan seksual, bukan spesifik pada kasus Agus.
Terkait dengan implikasi kondisi kecacatan terdakwa terhadap hukuman, Reza menyatakan bahwa kecacatan umumnya dianggap sebagai faktor yang meringankan hukuman. Namun, ia menambahkan, jika kecacatan justru digunakan sebagai instrumen untuk melakukan kejahatan, maka hal tersebut harus menjadi faktor yang memberatkan. Ia mencontohkan penggunaan bagian tubuh yang cacat untuk melakukan kejahatan sebagai bukti yang memberatkan hukuman. Pendapat ini memberikan dimensi baru dalam penentuan hukuman, di mana konteks penggunaan kecacatan dalam kejahatan harus dipertimbangkan.
Tim penasihat hukum Agus, Donny A Sheyoputra, menyatakan bahwa keterangan ahli memberikan wacana yang berimbang secara etika dan keilmuan. Ia juga menjelaskan bahwa Reza fokus pada aspek keilmuan psikologi forensik, tanpa membahas detail perkara. Dalam sesi tanya jawab, penasehat hukum menanyakan waktu yang diperlukan untuk proses 'grooming'. Menariknya, terdakwa IWAS mengaku tidak memahami istilah-istilah yang digunakan, baik dalam bahasa Inggris maupun istilah psikolog forensik yang disampaikan oleh saksi ahli. Hal ini tentunya menjadi pertimbangan tersendiri bagi majelis hakim dalam proses persidangan selanjutnya.
Kesimpulannya, kesaksian Reza Indragiri memberikan kontribusi signifikan terhadap pemahaman yang lebih komprehensif terkait kasus ini. Pernyataan mengenai penggunaan istilah yang tepat, serta pertimbangan kondisi kecacatan dalam konteks kejahatan, akan sangat berpengaruh dalam proses peradilan dan penegakan hukum bagi kasus-kasus serupa di masa mendatang.