Fadli Zon Tekankan Aspek Positif dalam Penulisan Ulang Sejarah Nasional

Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, menegaskan bahwa penulisan ulang sejarah Indonesia yang tengah digarap pemerintah akan menitikberatkan pada narasi positif, bukan pada pencarian kesalahan masa lampau. Pernyataan ini disampaikan sebagai respons terhadap isu yang beredar mengenai term of reference (TOR) sejarah yang hanya mencantumkan dua kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat.

"Fokus kita adalah pada aspek yang lebih membangun. Mencari-cari kesalahan itu mudah, setiap era pasti memiliki kekurangan," ujar Fadli di Cibubur, Depok, Jawa Barat, Minggu (1/6/2025).

Fadli menjelaskan bahwa tujuan utama penulisan ulang sejarah ini adalah untuk memperkuat persatuan bangsa dan mengutamakan kepentingan nasional. Inisiatif ini diharapkan dapat menghasilkan perspektif yang lebih Indonesia-sentris, menghilangkan bias-bias kolonial yang mungkin ada dalam catatan sejarah sebelumnya. Lebih lanjut, ia menekankan pentingnya relevansi sejarah masa lalu bagi generasi muda saat ini.

"Kita ingin sejarah ini dapat memberikan inspirasi kepada generasi penerus, belajar dari pencapaian dan kesuksesan para pendahulu. Tujuannya adalah untuk menampilkan sisi positif sejarah kita, dari era Presiden Soekarno hingga era Presiden Joko Widodo dan seterusnya," tambahnya.

Proyek penulisan sejarah ulang ini melibatkan 113 sejarawan dari 34 perguruan tinggi di seluruh Indonesia, dengan anggaran sebesar Rp 9 miliar. Fadli meminta masyarakat untuk tidak khawatir mengenai kualitas dan objektivitas penulisan ini, karena dikerjakan oleh para ahli di bidangnya. Ia juga menyampaikan bahwa hasil penulisan akan diuji publik pada bulan Juli 2025.

"Tidak perlu ada kekhawatiran, karena kami akan mengadakan uji publik setelah penulisan selesai," tegasnya.

Sebelumnya, dalam sebuah acara diskusi, aktivis HAM Beka Ulung Hapsara menyoroti pentingnya perspektif korban pelanggaran HAM berat masa lalu dalam penulisan sejarah. Beka menyampaikan kekhawatiran bahwa term of reference (TOR) yang ada hanya mencantumkan dua peristiwa pelanggaran HAM berat, padahal Komnas HAM telah mengidentifikasi 13 kasus yang belum terselesaikan. Ia menekankan bahwa jika hal ini terjadi, korban pelanggaran HAM berat masa lalu akan semakin terpinggirkan, padahal mereka masih merasakan trauma dan belum mendapatkan keadilan.

"Penting untuk memasukkan perspektif korban dalam penulisan sejarah agar suara mereka didengar dan pengalaman mereka diakui," pungkas Beka.

Dalam konteks ini, Fadli Zon menekankan komitmen pemerintah untuk menghasilkan narasi sejarah yang positif dan konstruktif, sambil tetap mempertimbangkan berbagai perspektif yang relevan, termasuk suara-suara dari korban pelanggaran HAM.