Gelombang PHK di PDAM Makassar: Mantan Karyawan Kontrak Berjuang Hadapi Krisis Ekonomi
Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang melanda karyawan kontrak Perusahaan Umum Daerah Air Minum (PDAM) Makassar, Sulawesi Selatan, telah menimbulkan kekhawatiran mendalam di kalangan mantan pegawai. Mereka kini berjuang menghadapi ketidakpastian ekonomi setelah kehilangan pekerjaan.
Syahrul, salah seorang mantan karyawan yang terkena dampak PHK massal, mengungkapkan kekecewaannya. Ia mengaku menerima surat pemberhentian secara tiba-tiba pada 28 Mei lalu, tanpa peringatan atau evaluasi kinerja sebelumnya. Menurutnya, kebijakan PHK ini tidak transparan dan justru menyasar pegawai yang memiliki peran penting dalam operasional perusahaan.
"Jika tidak ada 'orang dalam', yang tergeser adalah ujung tombak perusahaan. Rata-rata yang bertahan justru staf administrasi di kantor," ujar Syahrul.
Setelah tiga tahun bekerja di bagian teknis, menangani proyek-proyek pipa besar, Syahrul merasa pengabdiannya selama ini tidak dihargai. Sebagai kepala keluarga, ia kini merasa cemas memikirkan kebutuhan sehari-hari, cicilan rumah, dan biaya sekolah anak-anaknya.
"Saya sedang mencari pekerjaan sampingan, tapi belum ada. Masalahnya, ada cicilan rumah yang harus dibayar, belum lagi biaya sekolah anak-anak yang akan segera masuk. Ini bukan keluhan, tapi saya tidak tahu harus berbuat apa," jelasnya.
Umbar Joko Nasrioni, mantan karyawan lainnya, juga merasakan dampak yang sama. Setelah PHK, ia harus memutar otak untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Bahkan, ia berencana menjadi pengemudi ojek online (ojol) sebagai upaya bertahan hidup.
"Di usia saya yang sudah 47 tahun, saya tidak terima di-PHK sepihak. Kontrak kerja saya seharusnya baru berakhir Maret tahun depan," kata Umbar.
Ia menambahkan, pilihan menjadi ojol diambil karena keterbatasan pilihan di usia yang tidak lagi muda. Ia harus menghidupi istri, orang tua, dan dua orang anak, serta membayar cicilan motor dan kontrakan rumah.
Umbar juga mengungkapkan keheranannya karena SK perpanjangan kontraknya baru diperbarui pada bulan Maret. Bahkan, status kepegawaiannya sempat dinaikkan menjadi 80 persen, namun kemudian dibatalkan.
"SK perpanjangan saya baru ditandatangani bulan Maret kemarin. Lalu ada SK pengangkatan 80 persen, nama saya masuk, tapi dibatalkan lagi. Itu yang membuat saya kecewa," ungkapnya.
Ia juga mempertanyakan kebijakan pelaksana tugas (Plt) Dirut PDAM Hamzah Ahmad yang baru diangkat langsung melakukan PHK massal. Menurutnya, seorang Plt tidak berwenang melakukan pemutusan kontrak pegawai berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri).
Umbar menceritakan, dirinya bersama para pegawai kontrak lainnya menerima surat pemecatan secara tiba-tiba pada 28 Mei. Saat itu, ia sedang bertugas di lapangan sebagai petugas pencatat meteran air.
"Saya sedang bekerja di lapangan, mencatat meteran PDAM, saat cuaca panas, tiba-tiba ada pemberitahuan seperti itu dari kantor," ujarnya.
Ia juga merasa kebijakan direksi PDAM ini diskriminatif, karena sejumlah pegawai kontrak lainnya masih dipertahankan.
"Dari 209 orang yang terkena PHK, masih ada sisa 90 orang yang belum terkena. Banyak teman-teman yang kecewa, mengapa 90 orang masih dipertahankan, padahal mereka juga berstatus kontrak," katanya.
Umbar menduga, pegawai yang dipertahankan adalah mereka yang memiliki koneksi atau 'orang dalam' di PDAM. Ia menyoroti adanya ketidakadilan, karena pegawai yang kontraknya berakhir pertengahan tahun ini masih dipertahankan, sementara dirinya yang kontraknya baru berakhir tahun depan justru di-PHK.
Mantan pegawai lainnya, A (43), juga menyayangkan kebijakan PHK massal PDAM Makassar. Ia mengaku pusing memikirkan cara memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya.
"Masih pusing mencari cara untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari," kata A.
Sebagai kepala rumah tangga dengan dua anak yang masih bersekolah, A mengungkapkan bahwa pekerjaannya di PDAM adalah satu-satunya sumber penghasilan keluarga. Ia tinggal bersama istri, anak-anak, dan mertuanya.
Selama ini, ia menerima honor sebesar Rp 2,4 juta sebagai tenaga kontrak di PDAM Makassar. Meski di bawah upah minimum, gajinya masih cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
"Saya bekerja di lapangan, menangani kebocoran pipa. Jika ada pipa yang bocor, kami yang turun ke got, menggali di dalam tanah," ucapnya.
Awalnya, ia sempat berharap kondisi ekonominya akan membaik setelah menerima SK sebagai calon pegawai tetap pada bulan Maret. Namun, SK tersebut dibatalkan sebelum ia menerima kenaikan gaji, dan kini ia justru di-PHK.
"Kita tahu bagaimana keadaannya, kasihan melihat istri di rumah, anak-anak juga. Saya belum bisa menjawab pertanyaan mereka mengapa saya berhenti bekerja," katanya dengan nada sedih.
Saat ini, A masih berusaha mencari pekerjaan, meski tidak mudah karena faktor usia. Ia berharap ada kenalannya yang bersedia menerimanya bekerja.
"Untuk sekarang, saya masih menghubungi teman-teman, siapa tahu ada pekerjaan di tempat mereka atau di mana saja," harapnya.
PDAM Makassar sendiri melakukan PHK pegawai kontrak secara bertahap dengan alasan mengalami kerugian hingga Rp 2,1 miliar akibat perekrutan yang tidak sesuai prosedur.