Kebijakan Tarif Baja AS: Studi Kasus Proteksionisme dan Implikasinya bagi Indonesia
Fluktuasi Tarif Baja AS: Sebuah Tinjauan Historis dan Relevansinya untuk Indonesia
Pengumuman terbaru Donald Trump mengenai potensi penerapan tarif baja sebesar 50% pada tanggal 30 Mei 2025, sekali lagi menyoroti kompleksitas kebijakan perdagangan Amerika Serikat. Tindakan ini, yang diumumkan di U.S. Steel Mon Valley Works–Irvin Plant, Pennsylvania, menandai babak baru dalam sejarah panjang intervensi pemerintah AS dalam industri baja.
Sejarah mencatat, proteksionisme baja bukanlah fenomena baru di Amerika Serikat. Dimulai dari Smoot-Hawley Tariff Act di era Herbert Hoover pada tahun 1930, yang secara drastis menaikkan tarif impor hingga lebih dari 50%, hingga berbagai langkah "trade remedies" di bawah pemerintahan Obama, Trump, dan Biden, industri baja secara konsisten menerima perlakuan istimewa.
Jejak Proteksionisme Baja AS: Dari Hoover hingga Trump
Era Hoover dan Smoot-Hawley Tariff Act (1930)
Pada masa pemerintahan Herbert Hoover, "Smoot-Hawley Tariff Act" diberlakukan pada tahun 1930. Undang-undang ini secara signifikan meningkatkan tarif impor baja dan berbagai komoditas pertanian dan industri, dengan rata-rata tarif mencapai lebih dari 50%. Tujuan utama dari undang-undang ini adalah untuk melindungi industri domestik AS, termasuk produsen baja, dari persaingan asing.
Namun, tindakan proteksionis ini memicu perang dagang global yang memperparah krisis ekonomi dan menyebabkan penurunan perdagangan internasional sebesar 65% selama lima tahun berikutnya, seperti yang dicatat oleh Northern Trust.
Pasca-Perang Dunia II: Kejayaan dan Tantangan Baru
Setelah Perang Dunia II, industri baja Amerika Serikat mengalami masa keemasan dari akhir 1940-an hingga akhir 1960-an. AS menjadi pemasok utama baja global, khususnya untuk kebutuhan rekonstruksi ekonomi di Eropa dan Asia yang hancur akibat perang. Namun, pada dekade 1960-an, industri baja di Eropa Barat dan Jepang bangkit kembali dan menjadi pengekspor baja yang sangat kompetitif.
Respon terhadap Tekanan Impor
Tekanan impor mulai memengaruhi industri baja domestik AS pada dekade 1960-an. Menanggapi tantangan ini, pemerintah AS di bawah Presiden Lyndon B. Johnson mulai menggunakan instrumen perdagangan seperti kebijakan anti-dumping dan countervailing duties untuk mengendalikan impor baja murah dari Eropa dan Jepang. Selain itu, pemerintah AS mencapai kesepakatan voluntary export restraints (VERs) dengan negara-negara pengekspor baja tersebut.
Nixon Shock (1971)
Pada awal 1970-an, Presiden Richard Nixon menghadapi tekanan pada sistem moneter internasional Bretton Woods akibat permintaan konversi dolar ke emas dari negara-negara mitra dagang. Hal ini memicu kekhawatiran akan pelarian emas dan inflasi domestik yang tinggi. Untuk mengatasi krisis ini, pada 15 Agustus 1971, Nixon menerapkan kebijakan yang dikenal sebagai "Nixon Shock". Langkah-langkah utama termasuk menghentikan konversi dolar AS terhadap emas, mengendalikan harga dan upah di dalam negeri, dan menerapkan tarif tambahan sebesar 10% terhadap semua impor, termasuk baja. Penerapan tarif universal ini mirip dengan kebijakan Liberation Day Tariff yang diambil oleh Presiden Trump beberapa dekade kemudian, yang juga menargetkan semua jenis produk dan negara pengekspor.
Era Reagan dan Voluntary Restraint Agreements (1980)
Pada tahun 1980-an, Presiden Ronald Reagan menghadapi kelebihan kapasitas produksi baja global yang menekan harga baja domestik. Pada tahun 1984, Reagan memberlakukan kebijakan Voluntary Restraint Agreements (VRAs) dengan negara-negara pengekspor baja utama seperti Jepang, Korea Selatan, dan negara-negara Eropa Barat. Perjanjian ini membatasi ekspor baja mereka ke Amerika Serikat sekitar 20% di bawah level tahun sebelumnya, dengan tujuan memberikan ruang bagi produsen baja domestik untuk pulih.
Kebijakan Bush dan Obama
Pada era Presiden George W. Bush, tekanan global terhadap industri baja AS kembali meningkat akibat banjir impor dari berbagai negara. Pada Maret 2002, Bush memberlakukan kebijakan safeguard dengan tarif tambahan sebesar 8-30% terhadap berbagai produk baja selama periode tiga tahun. Namun, kebijakan ini akhirnya dicabut pada Desember 2003, setelah Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memutuskan bahwa kebijakan tersebut melanggar aturan perdagangan internasional.
Berbeda dengan Bush, Presiden Barack Obama pada periode 2009 hingga 2017 lebih banyak mengandalkan instrumen trade remedies seperti anti-dumping dan countervailing duties daripada kebijakan tarif secara langsung. Obama memberlakukan berbagai tindakan anti-dumping terhadap produk baja asal China, Korea Selatan, dan negara lainnya yang terbukti melakukan praktik subsidi atau dumping yang merugikan industri baja AS.
Era Trump dan Kebijakan Proteksionisme
Pada era pertama kepemimpinan Presiden Donald Trump, kebijakan proteksionisme baja kembali menguat. Pada 8 Maret 2018, Trump menerapkan kebijakan Tarif Trump 1, yakni tarif tambahan sebesar 25% untuk baja dan 10% untuk aluminium, di luar skema tarif trade remedies yang sudah ada sebelumnya, dengan dalih bahwa impor baja merupakan ancaman terhadap keamanan nasional. Kebijakan ini tidak diberlakukan kepada semua negara. Sejumlah sekutu utama AS seperti Kanada, Meksiko, Uni Eropa, Korea Selatan, Brasil, Argentina, dan Australia mendapatkan pengecualian sementara yang kemudian dinegosiasikan menjadi kuota atau kesepakatan bilateral. Kebijakan ini menjadi simbol kuat proteksionisme baja modern yang kemudian diperkuat lagi melalui kebijakan berikutnya di era Trump.
Era Biden dan Pendekatan Diplomatis
Memasuki era Presiden Joe Biden, kebijakan proteksionisme baja tetap dilanjutkan, meskipun dikemas lebih diplomatis. Pada 2022, Biden mempertahankan tarif baja 25% yang diwariskan dari kebijakan Trump, tetapi melalui negosiasi dengan Uni Eropa, kebijakan ini diubah menjadi skema tariff-rate quota (kuota tarif) untuk produk baja Eropa. Pendekatan ini bertujuan menjaga keseimbangan antara perlindungan industri baja domestik dan stabilitas hubungan dagang dengan sekutu. Di samping itu, kebijakan trade remedies tetap diterapkan secara intensif terhadap produk baja dari China dan negara-negara lain yang terbukti melakukan praktik perdagangan curang. Amerika adalah negara paling aktif dalam menggunakan instrumen trade remedies.
Implikasi bagi Indonesia
Kebijakan tarif baja di Amerika Serikat menunjukkan kesinambungan dari era ke era. Dari tarif baja Smoot-Hawley, unilateral tarif pada Nixon Shock, Reagan VRAs, trade remedies di era Bush dan Obama, Tarif Baja 25% Trump Jilid 1, kebijakan proteksionisme baja Biden yang lebih diplomatis, hingga kini Tarif Trump Jilid 2 dengan kebijakan "Liberation Day Tariff" dan Tarif Baja 50% yang sangat proteksionis. Semua ini menegaskan betapa strategisnya industri baja bagi ekonomi dan kedaulatan nasional Amerika Serikat.
Kebijakan proteksionisme yang diterapkan Amerika Serikat terhadap industri baja memang tampak paradoks, mengingat negara ini selama ini menjadi simbol perdagangan bebas dunia. Namun, langkah tersebut menunjukkan keseriusan Amerika Serikat dalam mempertahankan industri baja sebagai sektor strategis yang vital bagi perekonomian dan keamanan nasional. Tidak hanya Amerika Serikat, negara-negara maju lainnya seperti Uni Eropa, Kanada, Jepang, dan Korea Selatan juga menerapkan kebijakan perlindungan serupa. Fenomena kebijakan pemerintah di atas menggambarkan bagaimana baja telah menjadi komoditas strategis yang diperlakukan secara istimewa oleh hampir semua negara maju.
Bagi Indonesia, yang saat ini sedang berada dalam tahap pembangunan industri baja, pengalaman Amerika Serikat dan negara-negara lainnya dapat menjadi bahan pemikiran penting. Refleksi terhadap kebijakan proteksionisme baja di negara-negara tersebut perlu dipertimbangkan secara cermat agar Indonesia dapat merumuskan kebijakan yang tepat. Kebijakan yang menjadi landasan dalam melindungi pasar domestik dari serbuan baja murah impor, yang sekaligus juga mampu mendorong pertumbuhan industri baja nasional secara berkelanjutan, berdaya saing, serta mampu menciptakan nilai tambah bagi perekonomian Indonesia.