Efektivitas Job Fair Dipertanyakan: Sekadar Formalitas atau Solusi Pengangguran?

Gelaran job fair atau bursa kerja, yang seharusnya menjadi jembatan antara pencari kerja dan perusahaan, kini menuai sorotan tajam. Sebuah video viral di media sosial mengungkap dugaan bahwa job fair hanyalah formalitas untuk memenuhi target kinerja (KPI) instansi pemerintah terkait. Benarkah demikian?

Center of Economic and Law Studies (Celios) menyoroti bahwa job fair yang diselenggarakan pemerintah daerah kerap kali melibatkan unsur paksaan terhadap perusahaan. Perusahaan terpaksa berpartisipasi tanpa benar-benar membuka lowongan atau melakukan rekrutmen yang signifikan. Praktik ini disebut marak terjadi di kawasan industri.

Direktur Kebijakan Publik Celios, Media Wahyudi Askar, mengungkapkan bahwa negara-negara berkembang di Asia Selatan, Afrika, dan Amerika Latin telah lama meninggalkan skema job fair konvensional. Negara-negara tersebut lebih fokus pada pembenahan pasar tenaga kerja secara fundamental.

Data Celios menunjukkan adanya disparitas antara jumlah lowongan kerja dan pelamar. Dari 883.000 lowongan kerja pada 2025, hanya 400.000 pelamar yang tercatat. Hal ini mengindikasikan adanya hambatan struktural seperti diskriminasi persyaratan, upah rendah, kondisi kerja tidak layak, ketidakpastian ekonomi, dan ketidaksesuaian antara latar belakang pendidikan dan pekerjaan (mismatch).

Askar menyarankan pemerintah untuk menghentikan penyelenggaraan job fair berskala besar karena dinilai kurang efektif. Ia merekomendasikan pembenahan pasar tenaga kerja dan optimalisasi platform pencarian kerja digital.

Direktur Ekonomi Digital Celios, Nailul Huda, menambahkan bahwa job fair seringkali hanya membuka pendaftaran administrasi tanpa proses seleksi lanjutan. Dalam situasi ini, pencarian kerja online dinilai lebih efektif.

Huda menekankan pentingnya walk-in interview dalam job fair untuk mempercepat proses rekrutmen. Ia juga menyoroti potensi job fair yang hanya menjadi ajang formalitas bagi perusahaan untuk memenuhi keinginan pemerintah.

Pemerintah perlu mengawasi dan mengevaluasi job fair secara berkala untuk memastikan efektivitasnya. Jumlah lowongan yang tersedia dan jumlah pekerja yang diterima harus menjadi perhatian utama.

Huda menyinggung portal SIAPkerja milik pemerintah sebagai wadah bagi pencari kerja untuk menunjukkan kompetensi mereka. Ia mempertanyakan efektivitas implementasi kewajiban pendaftaran di portal tersebut bagi pencari kerja.

Membludaknya pencari kerja di job fair menjadi indikasi kegagalan pemerintah dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Pertumbuhan ekonomi sebesar 5% tidak diimbangi dengan penyerapan tenaga kerja yang signifikan. Dahulu, 1% pertumbuhan ekonomi mampu menyerap 400 ribu tenaga kerja, namun kini hanya 100 ribu.

Berikut adalah poin-poin yang mengemuka dari diskusi mengenai efektivitas job fair:

  • Formalitas vs. Solusi: Apakah job fair benar-benar membantu pencari kerja atau hanya sekadar formalitas?
  • Peran Pemerintah Daerah: Sejauh mana job fair yang diadakan pemerintah daerah efektif?
  • Hambatan Pasar Tenaga Kerja: Apa saja faktor yang menyebabkan kesenjangan antara lowongan dan pelamar?
  • Alternatif Job Fair: Apakah platform digital lebih efektif dalam menjembatani pencari kerja dan perusahaan?
  • Pertumbuhan Ekonomi dan Penyerapan Tenaga Kerja: Mengapa pertumbuhan ekonomi tidak sejalan dengan penyerapan tenaga kerja?