Efektivitas Bursa Kerja Dipertanyakan: Antara Pemenuhan KPI dan Kebutuhan Pencari Kerja

Bursa kerja atau job fair, yang seharusnya menjadi jembatan antara perusahaan dan pencari kerja, kini menuai kritik. Sebuah video viral di media sosial menyoroti pernyataan seorang praktisi HRD yang menyebutkan bahwa job fair seringkali hanya menjadi formalitas untuk memenuhi Key Performance Indicator (KPI) atau indikator kinerja utama instansi pemerintah terkait. Isu ini memicu perdebatan mengenai efektivitas job fair dalam mengatasi masalah pengangguran dan kesenjangan antara kebutuhan perusahaan dan kompetensi pencari kerja.

Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios), Media Wahyudi Askar, mengungkapkan bahwa job fair yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah seringkali bersifat 'paksaan'. Perusahaan-perusahaan di kawasan industri merasa tertekan untuk berpartisipasi, meskipun tidak memiliki kebutuhan riil untuk merekrut karyawan baru. Praktik ini tentu saja merugikan pencari kerja yang berharap mendapatkan kesempatan nyata.

Askar menambahkan bahwa negara-negara berkembang lain di Asia Selatan, Afrika, dan Amerika Latin telah meninggalkan skema job fair berskala besar. Mereka lebih fokus pada pembangunan pasar tenaga kerja yang lebih efisien dan adaptif terhadap perubahan kebutuhan industri.

Data yang dibagikan Celios menunjukkan adanya penurunan jumlah pelamar kerja, padahal jumlah lowongan kerja yang tersedia cukup banyak. Hal ini mengindikasikan adanya masalah mismatch antara kompetensi pencari kerja dan persyaratan yang ditetapkan perusahaan. Selain itu, faktor-faktor seperti diskriminasi, upah rendah, dan kondisi kerja yang tidak layak juga menjadi penghambat.

Data Celios juga mengungkapkan bahwa pengangguran didominasi oleh tenaga kerja muda, terutama usia 20-24 tahun. Namun, pencari kerja yang berusia di atas 35 tahun juga mengalami kesulitan yang sama. Ini menunjukkan bahwa masalah pengangguran tidak hanya dialami oleh lulusan baru, tetapi juga oleh mereka yang ingin mencari pekerjaan baru.

Askar menekankan perlunya pemerintah untuk menghentikan penyelenggaraan job fair berskala besar dan beralih ke pendekatan yang lebih efektif. Pemerintah harus fokus pada pembenahan pasar tenaga kerja dalam negeri dan memanfaatkan platform pencarian kerja digital yang lebih transparan dan efisien.

Direktur Ekonomi Digital Celios, Nailul Huda, sependapat bahwa job fair seringkali hanya membuka pendaftaran administrasi tanpa ada tindak lanjut yang jelas. Ia menilai bahwa pencarian kerja secara online akan jauh lebih efektif jika tidak ada kesempatan wawancara langsung (walk-in interview) di job fair. Kehadiran perusahaan di job fair pun seringkali hanya untuk memenuhi keinginan pemerintah, tanpa ada komitmen yang kuat untuk merekrut.

Huda juga menyoroti pentingnya pengawasan pemerintah terhadap pelaksanaan job fair. Pemerintah harus memastikan bahwa lowongan yang ditawarkan benar-benar tersedia dan jumlah pekerja yang diterima sesuai dengan target. Evaluasi rutin perlu dilakukan untuk mengidentifikasi masalah dan mencari solusi yang tepat.

Pemerintah juga memiliki portal SIAPkerja yang seharusnya menjadi wadah bagi pencari kerja untuk menunjukkan kualitas mereka kepada perusahaan. Namun, Huda meragukan efektivitas portal ini karena persyaratan pendaftaran seringkali tidak dipenuhi.

Membludaknya pencari kerja di job fair menjadi indikasi kegagalan pemerintah dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak selalu sejalan dengan penyerapan tenaga kerja yang optimal. Dahulu, 1% pertumbuhan ekonomi dapat menyerap 400 ribu tenaga kerja, tetapi sekarang hanya mampu menyerap sekitar 100 ribu tenaga kerja.