Selisih Harga Beras Picu Keuntungan Tengkulak Hingga Puluhan Triliun Rupiah
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menyoroti disparitas harga beras yang signifikan antara tingkat penggilingan dan eceran, yang berpotensi menguntungkan para tengkulak hingga mencapai angka fantastis, yakni Rp 42 triliun. Perhitungan ini didasarkan pada proyeksi produksi beras nasional yang diperkirakan mencapai 21 juta ton pada periode Januari hingga Juli 2025.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan Mei 2025, harga beras di tingkat penggilingan berada di kisaran Rp 12.733 per kilogram. Namun, ketika mencapai konsumen di tingkat eceran, harga tersebut melonjak menjadi Rp 14.784 per kilogram. Selisih harga sekitar Rp 2.000 inilah yang menjadi sumber keuntungan besar bagi para perantara.
"Jika produksi beras mencapai 21 miliar kilogram dan dikalikan dengan selisih harga Rp 2.000, maka keuntungan yang diperoleh perantara mencapai Rp 42 triliun," ungkap Amran dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (3/6/2025).
Mentan Amran menilai ketidakadilan terjadi karena pendapatan petani sangat jauh berbeda. Pendapatan petani rata-rata hanya berkisar antara Rp 1 juta hingga Rp 1,5 juta per bulan per keluarga. Padahal, pemerintah terus berupaya meningkatkan kesejahteraan para petani.
"Jangan sampai ada pihak-pihak yang mempermainkan harga. Kami berjuang keras untuk meningkatkan produksi dan membantu petani. Petani bekerja keras di lapangan selama berbulan-bulan, namun keuntungannya justru dinikmati oleh pihak lain," tegas Amran.
Sebelumnya, Amran juga menyoroti dugaan praktik mafia dalam rantai distribusi beras yang menyebabkan harga di tingkat eceran tidak turun meskipun harga di tingkat penggilingan mengalami penurunan. Menurutnya, selisih harga yang tidak wajar ini mengindikasikan adanya pihak-pihak yang sengaja memainkan harga untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
"Data BPS menunjukkan bahwa harga rata-rata beras di tingkat penggilingan mengalami penurunan pada Mei 2025. Seharusnya, harga di tingkat eceran juga ikut turun. Namun, kenyataannya tidak demikian. Ini menunjukkan adanya perantara yang memainkan harga, yang seringkali kita sebut sebagai mafia," pungkas Amran.