Polusi Asap Batu Bara Hantui Rancaekek: Warga Keluhkan Dampak Kesehatan dan Operasional Pabrik
Dampak Polusi Asap Batu Bara di Rancaekek Resahkan Warga
Warga di sekitar kawasan industri Rancaekek, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, mengeluhkan dampak polusi asap yang diduga berasal dari pembakaran batu bara sebuah pabrik. Keluhan ini mencuat setelah video yang memperlihatkan warga menutup wajah akibat asap beredar luas. Masyarakat setempat merasakan dampak kesehatan hingga terganggunya aktivitas sehari-hari.
Keluhan Warga: Batuk, Gatal, dan Bayi Dikurung
Amud, seorang warga RW 01 Kampung Kekencehan, Desa Cangkuang, mengkonfirmasi bahwa polusi asap tersebut telah berlangsung selama hampir tiga minggu. Dampaknya dirasakan setiap hari, terutama pada malam hari ketika asap semakin pekat. Ia menyebutkan bahwa istrinya sering batuk dan mengalami gatal-gatal akibat paparan asap tersebut. Bahkan, warga yang memiliki bayi terpaksa mengurung anak mereka di dalam rumah untuk menghindari dampak buruk asap.
"Istri saya mah sampai batuk. Kalau malam, wah, sudah gatal, pahit ke mulut, pedih juga ke mata. Kalau yang baru punya anak bayi mah, pas sudah keluar batu bara, langsung dibawa masuk ke rumah," ungkap Amud.
Keluhan Kebisingan dan Janji yang Tak Ditepati
Keluhan serupa juga disampaikan oleh Ayi Kohar, warga Kampung Kekencehan yang rumahnya berdekatan dengan pabrik. Selain asap, Ayi juga mengeluhkan kebisingan dari blower pabrik yang mengarah langsung ke rumahnya. Ia menceritakan bahwa pada tahun 2018, blower tersebut menggunakan corong besar yang mengarah ke permukiman, sehingga menimbulkan kebisingan yang sangat mengganggu.
"Waktu tahun 2018, blowernya itu langsung mengarah ke rumah saya, bising banget," kata Ayi.
Setelah warga melakukan protes dan mediasi dengan pihak kepolisian, corong blower tersebut dipotong dan ditutup dengan plastik. Namun, penutup plastik tersebut tidak bertahan lama.
Selain itu, Ayi juga mengungkapkan bahwa pihak pabrik awalnya meminta izin untuk membangun gudang, namun yang dibangun justru pabrik. Pabrik juga berjanji hanya beroperasi hingga pukul 17.00 WIB, namun kenyataannya beroperasi hingga pukul 23.00 WIB.
"Jadi warga tuh sering mengeluhkan ke pengurus, terus diadukan. Pada kenyataannya, pihak kelurahan juga enggak mampu. Warga sudah komplain beberapa kali, tapi da warga ada istilah susah lawan orang yang punya uang mah," ucapnya.
Sidak DLH dan Kompensasi yang Tidak Memadai
Ayi menyebutkan bahwa Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bandung sempat melakukan inspeksi ke pabrik. Namun, saat inspeksi tersebut, blower pabrik dimatikan. Ia menduga bahwa hal ini dilakukan untuk menghindari deteksi polusi.
"Sempat ada sidak dari DLH, tapi sering sudah mati si blower-nya. Kalau DLH sudah pergi, baru dinyalakan lagi," katanya.
Pihak perusahaan, lanjut Ayi, sempat memberikan kompensasi berupa air bersih kepada warga. Namun, air tersebut tidak layak untuk dikonsumsi karena bercampur dengan sedimen lumpur.
"Kalau ngasih ya ngasih air, tapi da kondisi airnya begitu. Harus disaring dan enggak bisa dipakai minum, paling cuci baju dan mandi saja, karena kalau enggak disaring ya kebawa lumpurnya," ujar Ayi.
Harapan Warga
Warga berharap agar pihak terkait dapat segera mengambil tindakan untuk mengatasi masalah polusi asap dan kebisingan yang disebabkan oleh pabrik tersebut. Mereka berharap agar pabrik dapat beroperasi secara bertanggung jawab dan tidak merugikan kesehatan serta kenyamanan masyarakat sekitar.
Berikut adalah beberapa poin keluhan warga:
- Polusi asap menyebabkan batuk, gatal-gatal, dan gangguan pernapasan.
- Bayi terpaksa dikurung di dalam rumah untuk menghindari dampak buruk asap.
- Kebisingan dari blower pabrik mengganggu kenyamanan warga.
- Janji operasional pabrik yang tidak ditepati.
- Kompensasi air bersih yang tidak layak konsumsi.