Kontroversi Yayasan Kemanusiaan Gaza: Benarkah Bantuan Dipersenjatai dan Siapa Dalang di Baliknya?
Klaim adanya korban massal dengan luka tembak dan pecahan peluru membanjiri rumah sakit lapangan Palang Merah di Gaza selatan. Informasi ini, yang disebarkan oleh Palang Merah Internasional, muncul di tengah laporan dan tuduhan yang saling bertentangan mengenai insiden di dekat pusat distribusi bantuan di Rafah. Insiden itu menyebabkan puluhan warga sipil tewas dan ratusan lainnya luka-luka akibat serangan pasukan Israel, menurut Kementerian Kesehatan Gaza dan kantor media milik pemerintahan Palestina. Insiden serupa juga dilaporkan terjadi di dekat pusat bantuan lainnya di sekitar Jembatan Wadi Gaza.
Pasukan Pertahanan Israel (IDF) bersikeras bahwa mereka tidak menembaki warga sipil dan merilis video dari pesawat nirawak yang menunjukkan orang-orang bersenjata dan bertopeng melemparkan batu dan menembaki warga sipil saat mengumpulkan bantuan di dekat Khan Younis. Namun, dokter di Rumah Sakit Nasser di Khan Younis melaporkan menerima sekitar 200 orang dengan luka-luka akibat peluru atau pecahan peluru.
Seorang tentara IDF di Rafah mengakui bahwa pasukannya melepaskan tembakan di dekat kerumunan warga sipil yang menunggu bantuan kemanusiaan, tetapi mengklaim bahwa mereka tidak mengarahkan senjata ke arah warga sipil dan tidak ada yang terkena tembakan.
Menurut laporan jurnalis di Rafah, Mohammed Ghareeb, warga Palestina berkumpul di dekat pusat distribusi bantuan yang dikelola oleh Yayasan Kemanusiaan Gaza (GHF) ketika tank-tank Israel mendekat dan menembaki kerumunan. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang peran dan legitimasi GHF, sebuah lembaga bantuan yang didukung oleh pemerintah Israel dan AS.
GHF dibentuk dengan tujuan untuk memotong peran PBB sebagai pemasok utama bantuan ke Gaza. Program GHF menuai kritik karena menggunakan jasa kontraktor keamanan dari AS dan menerapkan mekanisme pembagian bantuan yang dianggap kontroversial.
Berdasarkan mekanisme GHF, warga Palestina harus mengumpulkan kotak berisi makanan dan perlengkapan kebersihan dasar di lokasi distribusi yang dijaga oleh kontraktor Amerika dan dipatroli oleh pasukan Israel. Untuk masuk ke lokasi tersebut, warga Palestina harus menjalani pemeriksaan identitas dan pemindaian biometrik dan pengenalan wajah dengan tujuan mencegah orang-orang yang berafiliasi dengan Hamas masuk ke lokasi distribusi bantuan.
Beberapa pihak, termasuk PBB dan kelompok bantuan kemanusiaan lainnya, menolak bekerja sama dengan GHF karena menilai bahwa mekanisme tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan dan berpotensi 'mempersenjatai bantuan'. Mereka mengkhawatirkan bahwa sistem GHF akan mengecualikan kelompok rentan seperti warga sipil yang terluka, cacat, dan lansia, serta memaksa pengungsian lebih lanjut dan membuat bantuan bersyarat pada tujuan politik dan militer.
Jan Egeland, Sekretaris Jenderal Dewan Pengungsi Norwegia, menggambarkan GHF sebagai 'militerisasi, privatisasi, dan politisasi'. Hamas juga memperingatkan warga Palestina agar tidak mengikuti sistem GHF karena dianggap menggantikan ketertiban dengan kekacauan dan menggunakan makanan sebagai senjata selama masa perang.
Di tengah kritik yang semakin meningkat, pimpinan GHF, Jake Wood, mengundurkan diri karena merasa tidak nyaman dengan rencana yang didukung Israel. Wood, seorang mantan marinir AS, menyatakan bahwa tidak mungkin melaksanakan rencana GHF sambil secara ketat mematuhi prinsip-prinsip kemanusiaan, kenetralan, imparsialitas, dan independensi.
GHF menanggapi pengunduran diri Wood dengan menunjuk John Acree, mantan manajer senior di USAID, sebagai direktur baru dan menegaskan bahwa mereka akan terus menyalurkan bantuan, dengan target menjangkau satu juta warga Palestina dalam satu minggu.
Situasi di Gaza semakin memburuk setelah Israel memberlakukan blokade total terhadap bantuan kemanusiaan dan melanjutkan serangan militer. Meskipun Israel mengklaim telah mengizinkan ratusan truk bantuan masuk ke Gaza, PBB menilai bahwa bantuan tersebut hanya 'setetes air dalam ember' untuk mengatasi tingkat kelaparan yang parah. Setengah juta warga Gaza diyakini akan menghadapi kelaparan dalam beberapa bulan mendatang.