Akses Pendidikan Inklusif Terhambat Stigma, SPMB 2025 Diharapkan Jadi Solusi

Pendidikan inklusif di Indonesia masih menghadapi tantangan serius, terutama bagi anak-anak disabilitas. Data terbaru menunjukkan bahwa dari jutaan anak yang tidak bersekolah, lebih dari seperempatnya adalah penyandang disabilitas. Kondisi ini menyoroti kesenjangan yang signifikan dalam akses pendidikan dan perlunya intervensi yang efektif. Komisi Nasional Disabilitas (KND) mendorong Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) 2025 sebagai momentum untuk mewujudkan keadilan pendidikan.

KND telah bersurat kepada seluruh kepala daerah, menekankan pentingnya memberikan perhatian khusus kepada anak-anak disabilitas dalam proses SPMB. Selain itu, KND mendorong keterlibatan aktif Unit Layanan Disabilitas (ULD) Pendidikan dalam proses seleksi penerimaan siswa. ULD diharapkan dapat memberikan dukungan komprehensif, mulai dari identifikasi kebutuhan hingga asesmen psikologis anak, sehingga penempatan di sekolah inklusif dapat dilakukan dengan tepat. Data menunjukkan disparitas yang signifikan dalam lama sekolah antara anak disabilitas dan non-disabilitas. Rata-rata, anak disabilitas hanya bersekolah hingga kelas 5 SD, sementara anak non-disabilitas dapat mencapai kelas 9 SMP. Kesenjangan ini perlu diatasi untuk mencapai Sustainable Development Goals (SDGs).

Pemerintah Kota Semarang diapresiasi atas komitmennya terhadap pendidikan inklusif. Melalui sistem pra-SPMB, orang tua diberi kesempatan untuk mendaftarkan anak mereka ke dinas pendidikan. ULD kemudian memfasilitasi pendataan dan asesmen, memastikan anak-anak disabilitas mendapatkan dukungan yang sesuai. Meski demikian, tantangan tetap ada. Beberapa anak disabilitas yang telah diterima melalui jalur afirmasi memilih untuk mengundurkan diri. Hal ini seringkali disebabkan oleh stigma dan keraguan dari orang tua terhadap pendidikan inklusif. Dinas Pendidikan Kota Semarang tengah berupaya menyiapkan tenaga pendidik inklusif untuk mengatasi tantangan ini. Para guru telah dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan inklusi, meskipun pengalaman praktis masih terus ditingkatkan. Pendidikan inklusif membutuhkan kolaborasi dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, sekolah, orang tua, dan masyarakat. Dengan komitmen dan kerja sama yang kuat, diharapkan semua anak, termasuk anak-anak disabilitas, dapat memperoleh pendidikan yang berkualitas dan setara.