Dampak Psikologis Pemisahan Anak dari Orangtua Setelah Perceraian: Studi Kasus Baim Wong dan Paula Verhoeven

Dampak Psikologis Pemisahan Anak dari Orangtua Setelah Perceraian: Studi Kasus Baim Wong dan Paula Verhoeven

Perceraian publik figur Baim Wong dan Paula Verhoeven baru-baru ini kembali menjadi sorotan setelah beredar video yang memperlihatkan reaksi emosional putra mereka, Kenzo Eldrago Wong, saat berkunjung. Dalam video yang diunggah Paula Verhoeven di akun Instagram pribadinya pada Jumat, 7 Maret 2025, Kenzo terlihat menangis dan menolak kehadiran ibunya, mengungkapkan kekhawatiran akan kemarahan ayahnya. Insiden ini menguak permasalahan krusial mengenai dampak pemisahan anak dari salah satu orangtua pasca perceraian.

Kasus ini menjadi representatif dari banyak keluarga yang mengalami perpisahan dan memilih untuk membatasi akses anak terhadap salah satu mantan pasangan. Praktik ini, meskipun mungkin dipicu oleh berbagai faktor emosional dan pertimbangan praktis, dapat menimbulkan konsekuensi psikologis yang signifikan pada anak. Gloria Siagian M.Psi., psikolog anak dari Mykidz Clinic BSD, Kabupaten Tangerang, menjelaskan bahwa pemisahan paksa dari figur orangtua yang dekat dapat memicu stres pada anak, baik secara langsung maupun tertunda hingga masa remaja.

Reaksi anak terhadap pemisahan ini beragam. Anak kecil mungkin menunjukkan gejala yang lebih halus, sementara remaja cenderung mengekspresikan stres mereka melalui perilaku agresif yang dapat memengaruhi hubungan pertemanan dan prestasi akademik. Proses berduka yang dialami anak akibat perpisahan ini, menurut Gloria, hampir serupa dengan proses berduka atas kehilangan anggota keluarga yang meninggal. Perasaan kehilangan, kemarahan, kesedihan, dan kekecewaan menjadi emosi yang lazim dialami.

Psikolog tersebut menekankan pentingnya komunikasi terbuka dan empati dari orangtua yang memegang hak asuh. Orangtua perlu secara perlahan menjelaskan situasi perceraian kepada anak, memberikan ruang bagi anak untuk mengekspresikan perasaan mereka, dan menyediakan dukungan emosional yang memadai. Proses ini, kata Gloria, membantu anak memproses rasa kehilangan dan beradaptasi dengan situasi baru. Alih-alih pemisahan yang bersifat paksa, pendekatan yang mengedepankan komunikasi dan pemahaman akan lebih baik demi kesehatan mental anak.

Perlu diingat, setiap anak memiliki karakteristik dan ketahanan emosional yang berbeda. Namun, secara umum, menghindari pemisahan fisik yang tidak perlu dan menjaga hubungan yang sehat antara anak dan kedua orangtuanya, meskipun telah bercerai, merupakan langkah penting untuk meminimalkan trauma psikologis. Mantan pasangan perlu menyadari bahwa meskipun hubungan mereka telah berakhir, tanggung jawab bersama terhadap kesejahteraan anak tetaplah berlanjut. Kerja sama dan komitmen untuk menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi anak menjadi kunci dalam meminimalisir dampak negatif perceraian.

Kesimpulannya, kasus perceraian Baim Wong dan Paula Verhoeven menyoroti pentingnya mempertimbangkan dampak psikologis pemisahan anak dari orangtua pasca perceraian. Komunikasi yang terbuka, empati, dan pendekatan yang berfokus pada kesejahteraan anak, bukannya didasari dendam atau ego pribadi, menjadi kunci dalam membantu anak melewati fase sulit ini dan tumbuh menjadi individu yang sehat dan seimbang. Keterlibatan konselor atau terapis keluarga juga dapat sangat membantu dalam memandu keluarga melewati proses ini dengan cara yang konstruktif.