Polemik Ayam Goreng Widuran: Anggota DPR Soroti Pengawasan Pelabelan Produk yang Longgar
Kasus Ayam Goreng Widuran di Solo yang baru-baru ini menjadi sorotan publik terkait status kehalalannya memicu reaksi dari anggota Komisi VI DPR RI, Mufti Anam. Menurutnya, permasalahan ini lebih dari sekadar kelalaian, melainkan indikasi lemahnya pengawasan terhadap pelabelan produk makanan di Indonesia.
Mufti Anam menegaskan bahwa kasus ini tidak bisa dianggap sebagai kesalahan komunikasi biasa. Ia menilai, insiden ini mencerminkan adanya celah serius dalam sistem pengawasan pelabelan produk konsumsi yang seharusnya menjadi perhatian utama instansi terkait. Restoran Ayam Goreng Widuran, yang telah beroperasi selama lebih dari setengah abad, dinilai memiliki tanggung jawab moral untuk memberikan informasi yang transparan kepada konsumen. Praktik bisnis yang tidak jujur, menurutnya, dapat merugikan pelaku usaha lain yang taat pada aturan dan etika perdagangan yang berlaku.
"Label halal dan non-halal bukan sekadar hiasan. Ini menyangkut keyakinan konsumen, etika konsumsi, dan hak setiap warga negara untuk mendapatkan informasi yang akurat mengenai produk yang mereka konsumsi," ujar Mufti Anam.
Legislator tersebut menambahkan, penyembunyian informasi mengenai status kehalalan, baik disengaja maupun tidak, merupakan bentuk pengabaian terhadap hak-hak konsumen. Sistem pengawasan yang tidak efektif berpotensi menciptakan persaingan usaha yang tidak sehat. Mufti Anam khawatir, kondisi ini dapat berdampak negatif pada pelaku usaha lain yang telah jujur mencantumkan label halal atau non-halal pada produk mereka, karena justru akan menimbulkan keraguan di kalangan konsumen.
Mufti Anam menyoroti adanya celah dalam sistem pengawasan pelabelan halal yang terungkap dari kasus Ayam Goreng Widuran. Ia mendesak agar dilakukan evaluasi dan perbaikan menyeluruh terhadap sistem yang ada.
"Kelalaian pihak-pihak yang bertanggung jawab untuk memastikan rumah makan mencantumkan informasi mengenai label halal tidak boleh terulang kembali," tegasnya.
Mufti Anam menekankan bahwa pelabelan halal dan non-halal bukan hanya persoalan agama, melainkan juga menyangkut etika perdagangan dan kejujuran dalam berbisnis. Konsumen non-Muslim pun berhak mengetahui dengan jelas komposisi makanan yang mereka beli. Ia mendesak kementerian dan lembaga terkait untuk memberikan penjelasan resmi dan melakukan evaluasi terhadap mekanisme pengawasan yang telah berjalan. Kepercayaan publik, menurutnya, tidak boleh diabaikan begitu saja.
Mufti Anam juga menyampaikan perlunya revisi regulasi yang masih ambigu demi memperkuat perlindungan konsumen. Ia berharap, kasus ini menjadi momentum untuk perbaikan sistem, bukan sekadar sensasi sesaat.
"Kepercayaan publik adalah modal utama industri kuliner nasional. Kepercayaan itu hanya bisa dibangun dengan kejujuran dan keterbukaan," pungkasnya.