Gelombang Penolakan Budaya Kerja '996' Melanda Generasi Muda Tiongkok
Pergeseran paradigma tengah terjadi di Tiongkok, di mana generasi muda semakin lantang menyuarakan penolakan terhadap sistem kerja '996' yang dikenal eksploitatif. Sistem yang mengharuskan karyawan bekerja dari jam 9 pagi hingga 9 malam, enam hari seminggu, ini dulunya dianggap sebagai norma, terutama di perusahaan-perusahaan teknologi raksasa.
Praktik '996', yang sempat mendapat dukungan dari tokoh-tokoh industri seperti Jack Ma, kini justru menjadi sumber kekecewaan mendalam di kalangan anak muda. Mereka semakin sadar akan pentingnya keseimbangan hidup dan menempatkan kesejahteraan pribadi di atas tuntutan perusahaan. Penolakan ini memanifestasikan diri dalam berbagai bentuk, termasuk gerakan 'tang ping' (berbaring datar) dan 'bai lan' (biarkan membusuk), yang mencerminkan frustrasi terhadap beban kerja berlebihan, gaji rendah, dan minimnya peluang pengembangan karir.
"Dulu saya berpikir bahwa bekerja lembur adalah bukti bahwa saya berharga," ungkap Liu Wen, seorang pemuda berusia 25 tahun yang mengundurkan diri dari sebuah startup teknologi di Hangzhou. "Namun, setelah dua tahun merasakan tekanan tanpa henti dan tidak ada promosi, saya menyadari bahwa saya hanya membakar diri untuk mewujudkan visi orang lain."
Faktor-faktor seperti mahalnya biaya hidup, persaingan akademis yang ketat, dan stagnasi gaji telah memicu skeptisisme di kalangan generasi muda Tiongkok terhadap janji-janji tradisional bahwa kerja keras akan membawa kemajuan. Muncul pula fenomena "manusia tikus", yaitu individu yang memilih untuk hidup sederhana, tinggal di apartemen kecil, dan meminimalkan aktivitas ekonomi sebagai bentuk penolakan terhadap standar kesuksesan konvensional.
Tren ini menandai sebuah pemberontakan diam-diam, di mana anak muda secara kolektif menarik diri dari sistem yang mereka anggap tidak adil. "Orang tua saya bekerja keras sepanjang hidup mereka untuk memberi saya masa depan yang lebih baik. Namun sekarang, mereka khawatir saya tidak mengejar kesuksesan yang sama," kata Zhao Ming, seorang lulusan baru berusia 23 tahun. "Saya hanya ingin menjalani kehidupan yang seimbang, bukan kehidupan yang menghancurkan."
Tingkat pengangguran di kalangan pemuda Tiongkok juga menjadi faktor penting dalam perubahan budaya ini. Pada April 2025, tingkat pengangguran pemuda perkotaan untuk usia 16 hingga 24 tahun mencapai 15,8%. Kondisi ini memaksa anak muda untuk mengevaluasi kembali aspirasi karir dan tujuan hidup mereka.
"Prioritas generasi muda saat ini, yang dikenal sebagai Gen Z, berpusat pada kesehatan mental dan fisik, diikuti oleh akumulasi kemakmuran," kata Zhang Xiaomeng, seorang profesor di Cheung Kong Graduate School of Business.
Menanggapi perubahan ini, beberapa perusahaan mulai menerapkan aturan kerja yang lebih fleksibel, memprioritaskan kesejahteraan karyawan, dan menawarkan jalur yang lebih jelas untuk kemajuan karir. Bahkan, beberapa perusahaan milik negara mulai melonggarkan aturan berpakaian agar lebih sesuai dengan ekspektasi tenaga kerja.
Generasi muda Tiongkok kini mengutamakan kehidupan yang lebih seimbang dan memuaskan, menjauh dari tuntutan budaya kerja tradisional yang melelahkan. Bagi sebuah negara yang selama ini identik dengan pertumbuhan ekonomi yang agresif, munculnya generasi yang lebih memilih hidup yang lebih santai menandai salah satu perubahan budaya paling signifikan dalam beberapa dekade terakhir.
- Budaya Kerja '996': Sistem kerja yang mengharuskan karyawan bekerja dari jam 9 pagi hingga 9 malam, enam hari seminggu.
- Gerakan 'Tang Ping': Gerakan "berbaring datar" yang menekankan pada gaya hidup minimalis dan menolak tekanan untuk bekerja berlebihan.
- Gerakan 'Bai Lan': Gerakan "biarkan membusuk" yang mengekspresikan ketidakpedulian dan penolakan terhadap ambisi karir.
- Manusia Tikus: Individu yang memilih untuk hidup sederhana dan meminimalkan aktivitas ekonomi sebagai bentuk penolakan terhadap standar kesuksesan konvensional.