Polemik Anggaran Konsumsi Rapat Pejabat Tinggi di Tengah Jurang Kemiskinan
Pemerintah menuai sorotan tajam terkait alokasi anggaran konsumsi untuk rapat koordinasi (rakor) pejabat tinggi negara. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 32 Tahun 2025 tentang Standar Biaya Masukan Tahun Anggaran 2026 menjadi pemicu kontroversi. Regulasi ini menetapkan biaya konsumsi rakor setingkat menteri, wakil menteri, atau pejabat eselon I sebesar Rp 118.000 per orang, ditambah Rp 53.000 untuk kudapan. Jika ditotal, anggaran konsumsi per peserta rapat mencapai Rp 171.000. Angka ini memicu perdebatan sengit karena dinilai tidak sejalan dengan kondisi ekonomi sebagian besar masyarakat Indonesia yang masih bergulat dengan kemiskinan.
Kritik utama tertuju pada kontrasnya angka konsumsi pejabat dengan garis kemiskinan nasional. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa seseorang dikategorikan miskin jika pengeluarannya di bawah Rp 550.458 per bulan atau sekitar Rp 18.000 hingga Rp 20.000 per hari. Artinya, biaya konsumsi satu pejabat dalam satu rapat setara dengan jatah makan delapan orang miskin selama sehari. Ironi ini mencerminkan ketidakseimbangan dalam prioritas anggaran negara, di mana standar konsumsi mewah diterapkan bagi elite birokrasi, sementara jutaan rakyat masih berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Berikut ini beberapa poin yang menjadi sorotan:
- Kontras dengan Kemiskinan: Biaya konsumsi rapat pejabat dinilai jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pengeluaran harian masyarakat miskin.
- Prioritas Anggaran: Alokasi anggaran untuk konsumsi pejabat dipertanyakan di tengah upaya pemerintah untuk menekan angka kemiskinan.
- Efisiensi Birokrasi: Kebijakan ini dinilai bertentangan dengan semangat efisiensi dan digitalisasi birokrasi yang selama ini digaungkan.
- Keadilan Sosial: Masyarakat mempertanyakan rasa keadilan dalam alokasi anggaran, di mana negara terkesan lebih royal terhadap birokrasi dibandingkan dengan rakyat kecil.
Kondisi ini diperparah dengan data BPS yang menunjukkan bahwa pada Maret 2024, terdapat 25,82 juta penduduk miskin di Indonesia, termasuk 5,6 juta yang tergolong miskin ekstrem dengan pengeluaran di bawah Rp 10.000 per hari. Di tengah situasi ini, alokasi anggaran konsumsi yang signifikan untuk rapat pejabat menimbulkan pertanyaan mengenai sensitivitas sosial negara dalam menetapkan standar pembiayaan aktivitas birokrasi. Apakah negara tidak memiliki empati terhadap masyarakat yang kesulitan memenuhi kebutuhan pokok?
Prinsip-prinsip anggaran negara yang tertuang dalam Pasal 3 UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, menekankan pengelolaan keuangan yang tertib, taat hukum, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan berkeadilan. Penetapan biaya konsumsi yang tinggi untuk kegiatan birokrasi, terutama di tengah tingginya angka kemiskinan, menimbulkan pertanyaan dari segi legalitas, etika, dan moral. Mahkamah Konstitusi juga telah menegaskan bahwa negara wajib mengalokasikan anggaran secara proporsional untuk memenuhi hak dasar warga negara, termasuk pangan, pendidikan, dan kesehatan.
Inisiatif penghematan birokrasi telah diterapkan di berbagai negara. Di Jerman, rapat kementerian umumnya berlangsung tanpa makan siang mewah, sementara di Jepang, konsumsi rapat dibatasi pada minuman dan snack ringan. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa pejabat publik dibayar untuk bekerja, bukan untuk menikmati hidangan mewah saat rapat. Pemerintah didesak untuk segera merevisi kebijakan ini dan mengevaluasi standar biaya masukan dengan mempertimbangkan aspek keadilan sosial. Selain itu, transparansi pengeluaran konsumsi rapat di lembaga-lembaga negara perlu ditingkatkan agar masyarakat dapat mengawasi penggunaan anggaran. DPR dan BPK juga diharapkan dapat memainkan peran aktif dalam mengawasi belanja birokrasi yang kurang berdampak langsung bagi rakyat. Negara diharapkan memberikan contoh dalam menyusun anggaran yang efisien dan berkeadilan, dimulai dari hal-hal kecil seperti konsumsi rapat menteri.