Kenaikan Air Laut Ancam Masyarakat Pesisir: Perlindungan Hukum Mendesak

Kenaikan permukaan air laut akibat perubahan iklim menjadi ancaman serius bagi masyarakat pesisir di Indonesia, terutama di wilayah utara Jakarta hingga Surabaya. Dampak yang ditimbulkan tidak hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga mengancam keberlangsungan hidup dan tempat tinggal mereka. Penelitian terbaru dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyoroti kerentanan yang dihadapi masyarakat pesisir akibat fenomena ini.

Banyak warga pesisir kehilangan tempat tinggal akibat banjir rob yang semakin parah. Mereka terpaksa mengungsi dan mencari tempat tinggal baru, seringkali dengan sumber daya yang terbatas. Program relokasi yang ada pun belum sepenuhnya efektif karena lokasi relokasi yang ditawarkan seringkali tidak aman dan tidak memiliki kepastian hukum. Lahan-lahan di tepi sungai atau area irigasi yang dikelola oleh pemerintah rentan terhadap banjir dan status kepemilikannya tidak jelas, sehingga warga hanya diperbolehkan tinggal sementara.

Ironisnya, meski migrasi akibat dampak iklim sudah menjadi kenyataan, perlindungan hukum yang memadai bagi masyarakat terdampak masih sangat minim. Pemerintah pusat belum memiliki skema atau regulasi yang secara khusus menjamin hak atas tempat tinggal pengganti bagi mereka yang kehilangan tempat tinggal akibat kenaikan air laut. Kelemahan regulasi ini memperlambat penanganan dan menyulitkan kelompok rentan seperti orang tua, perempuan, dan anak-anak yang paling merasakan dampak dari perubahan iklim.

Isu ini bukan hanya masalah lokal, tetapi juga persoalan global. Kerangka hukum internasional yang membahas relokasi akibat perubahan iklim masih tersebar di berbagai dokumen, seperti Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) dan Kerangka Adaptasi Cancun 2010. Kenaikan permukaan air laut harus dipahami sebagai ancaman terhadap hak untuk hidup dan lingkungan yang sehat, dan pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi warganya.

Saat ini, Undang-Undang Penanggulangan Bencana di Indonesia hanya mencakup bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Tidak ada pengaturan mengenai relokasi akibat migrasi paksa atau bencana dampak perubahan iklim. Fokusnya hanya pada rehabilitasi dan rekonstruksi di lokasi yang sama setelah bencana. Padahal, migrasi karena krisis lingkungan adalah persoalan keamanan manusia yang mendesak dan membutuhkan perlindungan memadai.

Oleh karena itu, revisi Undang-Undang Penanggulangan Bencana menjadi sangat penting. Revisi tersebut harus mencakup pengaturan mengenai pengungsian dan mobilitas penduduk akibat banjir rob dan penurunan muka tanah. Regulasi yang dibuat harus berbasis pada hak asasi manusia, karena setiap individu memiliki tingkat kerentanan yang berbeda terhadap dampak perubahan iklim. Kelompok marginal seperti masyarakat miskin, perempuan, dan anak-anak membutuhkan perlindungan yang lebih besar dalam menghadapi krisis ini. Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah konkret untuk melindungi masyarakat pesisir dari dampak kenaikan air laut, termasuk menyediakan tempat tinggal yang layak, memberikan perlindungan hukum yang memadai, dan meningkatkan kapasitas adaptasi masyarakat terhadap perubahan iklim.