Polemik Narasi Sejarah 'Positif': Mengenang Pelanggaran HAM Berat Tanpa Menghilangkan Kebenaran

Polemik Narasi Sejarah 'Positif': Mengenang Pelanggaran HAM Berat Tanpa Menghilangkan Kebenaran

Inisiatif pemerintah untuk menyusun ulang sejarah nasional dengan penekanan pada narasi yang lebih positif, khususnya terkait pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat, menuai sorotan tajam. Meski bertujuan untuk mempererat persatuan bangsa dan menyegarkan ingatan kolektif, langkah ini berpotensi mengaburkan fakta-fakta kelam yang justru esensial sebagai pelajaran berharga untuk mencegah terulangnya tragedi serupa.

Pendekatan "tone positif" dalam penulisan sejarah dapat dilihat sebagai upaya untuk menutupi kekurangan sistemik dalam penegakan HAM dan akuntabilitas negara. Hal ini sejalan dengan pandangan teori kritis yang menyatakan bahwa sejarah yang didominasi narasi tunggal, yang menghilangkan konflik dan ketidakadilan, merupakan bentuk "ideologi palsu" yang melanggengkan kekuasaan yang ada. Sejarah semacam ini tidak hanya mengaburkan kebenaran, tetapi juga membungkam suara korban dan menyembunyikan relasi kuasa yang menjadi akar pelanggaran HAM. Dengan kata lain, "tone positif" dalam narasi sejarah berpotensi menjadi alat untuk mereproduksi dominasi politik dengan mengorbankan keadilan dan kebenaran historis.

Pendekatan ini bertentangan dengan prinsip dasar kajian sejarah kritis yang menekankan inklusivitas dan keberagaman perspektif. Sejarah bukanlah sesuatu yang netral, melainkan konstruksi naratif yang dipilih berdasarkan kepentingan politik dan ideologis tertentu. Oleh karena itu, penekanan pada "tone positif" tanpa menyajikan seluruh aspek, terutama pelanggaran HAM berat, merupakan manipulasi naratif yang melemahkan kemampuan masyarakat untuk melakukan refleksi kritis dan belajar dari masa lalu.

Secara praktis, penulisan sejarah yang menutupi atau meminimalkan pelanggaran HAM dapat menghambat proses rekonsiliasi dan pemulihan keadilan yang sesungguhnya. Kurangnya pengakuan terhadap kesalahan masa lalu sering kali meninggalkan luka kolektif yang terpendam dan memicu potensi ketegangan sosial di masa depan. Sejarah seharusnya menjadi ruang untuk pengakuan, peringatan, dan pembelajaran, bukan sekadar alat untuk membangun citra politik.

Dalam sistem demokrasi yang sehat, negara seharusnya mengutamakan narasi sejarah yang jujur dan kritis, meskipun terasa pahit. Kebebasan berekspresi dan akses terhadap kebenaran sejarah adalah pilar utama dalam penegakan hak asasi manusia dan pembangunan masyarakat yang berkeadilan. Beberapa peristiwa pelanggaran HAM berat yang telah diakui oleh negara tidak boleh dikesampingkan dalam narasi sejarah nasional, di antaranya:

  • Peristiwa 1965-1966
  • Penembakan Misterius (Petrus) 1982-1985
  • Tragedi Talangsari 1989
  • Penghilangan Paksa Aktivis 1997-1998
  • Tragedi Trisakti dan Semanggi I & II
  • Kerusuhan Mei 1998
  • Konflik di Aceh dan Papua (Simpang KKA, Wasior, Wamena, Jambo Keupok)
  • Peristiwa Pasca-Referendum Timor Timur 1999

Selain peristiwa-peristiwa tersebut, masih banyak kasus lain yang memenuhi kriteria pelanggaran HAM berat namun belum mendapatkan pengakuan atau penanganan hukum yang memadai. Penyederhanaan narasi sejarah dengan "tone positif" yang hanya menyoroti sebagian kecil peristiwa, tanpa mengakui atau mengangkat kasus-kasus serius lainnya, merupakan bentuk "seleksi" sejarah yang berbahaya. Pendekatan ini tidak hanya merusak integritas sejarah, tetapi juga menghambat proses pemulihan hak dan keadilan bagi para korban pelanggaran HAM di Indonesia.

Masyarakat berhak mengetahui dan belajar dari peristiwa masa lalu, termasuk fakta kelam yang dilakukan oleh negara atas nama keamanan, stabilitas, atau pembangunan. Pengingkaran atau penyembunyian kebenaran tersebut justru mengikis kemanusiaan dan hak-hak fundamental warga negara. Dengan pengakuan yang jujur terhadap sejarah kelam, masyarakat dapat merawat kemanusiaan, menghindari pengulangan pelanggaran serupa, dan membangun masa depan yang lebih adil dan beradab. Sejarah yang terbuka dan penuh integritas menjadi fondasi penting untuk memupuk kesadaran kolektif, memajukan hak asasi manusia, dan menjaga martabat bangsa.

Negara memiliki tanggung jawab untuk tidak hanya mengakui, tetapi juga menyelesaikan tuntas kasus-kasus pelanggaran HAM, terutama pelanggaran berat yang terjadi pada masa lalu. Penyelesaian ini harus diwujudkan dalam bentuk penegakan hukum yang nyata, transparan, dan akuntabel yang mampu memberikan keadilan substantif bagi para korban dan keluarganya. Kegagalan negara dalam memenuhi kewajiban ini akan memperpanjang penderitaan korban, merusak kepercayaan publik terhadap institusi negara dan sistem hukum nasional, serta berpotensi mereproduksi siklus kekerasan dan pelanggaran di masa depan.

Penyelesaian pelanggaran HAM berat bukan hanya soal menuntaskan sejarah kelam, tetapi juga soal membangun fondasi keadilan yang kokoh untuk masa depan bangsa. Negara harus menjadikan penanganan pelanggaran HAM masa lalu sebagai instrumen reformasi struktural, yaitu menyempurnakan regulasi, memperkuat lembaga penegak hukum, dan mengedukasi publik agar kesadaran hak asasi manusia menjadi budaya yang melekat dalam setiap lini kehidupan bernegara. Dengan demikian, narasi sejarah yang jujur dan menyeluruh, serta penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang sungguh-sungguh, akan menjadi pijakan kuat dalam mencegah pengulangan kesalahan yang sama, sekaligus mewujudkan cita-cita demokrasi yang berkeadilan dan menghormati martabat kemanusiaan.