Kritik Pedas atas Pernyataan Kontroversial Menteri ESDM: Hilangnya Empati Terhadap Kondisi Ketenagakerjaan Nasional
Di tengah meningkatnya kekhawatiran masyarakat terkait sulitnya mencari pekerjaan yang layak, pernyataan Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, yang menyebut pihak yang mempertanyakan ketersediaan lapangan kerja sebagai "kufur nikmat", menuai kecaman keras. Pernyataan ini dinilai mencerminkan ketidakpekaan elite pemerintah terhadap realitas sosial-ekonomi yang dihadapi masyarakat.
Kritik pun berdatangan mempertanyakan apakah pemerintah menganggap fenomena antrean panjang pencari kerja sebagai sesuatu yang tidak nyata. Pernyataan tersebut dianggap sebagai bentuk tuduhan terselubung kepada masyarakat yang dianggap tidak bersyukur atas upaya pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja.
Padahal, data menunjukkan peningkatan jumlah pencari kerja sejak 2023. Fakta ini diperkuat dengan pemandangan antrean panjang di berbagai wilayah, di mana masyarakat berjuang mendapatkan pekerjaan.
Pernyataan Menteri ESDM dinilai tidak etis dan berbahaya, karena menunjukkan ketidakpedulian terhadap kesulitan yang dihadapi masyarakat. Seorang menteri seharusnya menunjukkan empati dan memberikan solusi, bukan malah melontarkan sindiran. Pernyataan ini juga memperlebar jurang antara pemerintah dan masyarakat.
Kondisi Ketenagakerjaan yang Memprihatinkan
Indonesia menghadapi masalah ketenagakerjaan yang kompleks. Untuk mengimbangi pertumbuhan angkatan kerja, diperlukan jutaan lapangan kerja baru setiap tahunnya. Data IMF menunjukkan bahwa Indonesia memiliki tingkat pengangguran yang cukup tinggi di antara negara berkembang Asia Pasifik.
Data dari BPS juga menunjukkan angka pengangguran yang masih tinggi, dengan sebagian besar pekerja berada di sektor informal dengan pendapatan rendah dan tanpa jaminan sosial. Tingkat pengangguran di kalangan pekerja muda juga mengkhawatirkan. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi ketenagakerjaan di Indonesia berada dalam kondisi darurat.
Pernyataan Menteri Investasi terkait potensi penciptaan lapangan kerja di sektor energi harus dilihat secara proporsional. Realisasi di lapangan menunjukkan lonjakan PHK di berbagai kawasan industri. Ironisnya, kawasan industri yang diklaim sebagai pusat penciptaan kerja justru gagal menjadi solusi pengangguran lokal.
Janji Politik vs Realitas
Pernyataan Menteri ESDM bertolak belakang dengan janji politik terkait penciptaan lapangan kerja yang layak dan pemberdayaan tenaga kerja lokal. Program hilirisasi yang digembar-gemborkan pemerintah belum menyentuh akar persoalan ketenagakerjaan.
Investasi asing lebih berorientasi pada ekstraksi bahan mentah, bukan pengembangan manufaktur padat karya atau peningkatan keterampilan tenaga kerja lokal. Akibatnya, tenaga kerja asing mendominasi posisi teknis strategis, sementara warga lokal menjadi buruh kasar dengan sistem kontrak harian.
Kondisi ini memicu antrean panjang pencari kerja yang seringkali diwarnai insiden kericuhan. Hal ini menunjukkan keterdesakan struktural, bukan karena masyarakat malas atau tidak bersyukur. Masyarakat masih berharap kepada negara untuk membuka akses terhadap pekerjaan.
Namun, harapan ini seringkali dijawab dengan stigma dan tudingan negatif. Pemerintah seharusnya tidak hanya membuat proyeksi di atas kertas, tetapi juga melaksanakan kebijakan yang adil dan berpihak pada rakyat.
Kegagalan pemerintah dalam menyediakan lapangan kerja dapat mengancam stabilitas sosial dan politik nasional. Pengangguran massal dan ketimpangan ekonomi dapat menjadi bom waktu.
Seorang menteri seharusnya bersikap empati dan memberikan solusi, bukan malah melontarkan sindiran. Masyarakat membutuhkan pemimpin yang peduli terhadap realitas dan bekerja keras untuk mengatasi persoalan.
Menyebut masyarakat "kufur nikmat" menunjukkan bahwa elite pemerintah tidak memahami realitas krisis lapangan kerja yang dirasakan jutaan orang. Presiden harus mengambil sikap tegas untuk menjaga kepercayaan publik.
Masyarakat tidak sedang "kufur nikmat", tetapi sedang berteriak karena negara belum hadir. Hal ini seharusnya membuat pemerintah merasa malu.