Pro Kontra Pembatasan Air Minum Kemasan di Bawah Satu Liter: Analisis Dampak Ekonomi dan Lingkungan di Bali

Pemerintah Provinsi Bali terus mendorong implementasi larangan peredaran air minum dalam kemasan (AMDK) berukuran di bawah satu liter. Kebijakan ini, yang digagas oleh Gubernur I Wayan Koster, telah memicu diskusi intensif di kalangan pelaku industri, pengusaha, dan masyarakat luas.

Kebijakan ini dipandang memiliki dua sisi mata uang. Di satu sisi, terdapat potensi manfaat signifikan bagi lingkungan, khususnya dalam mengurangi volume sampah plastik yang menjadi masalah krusial di Bali. Namun, di sisi lain, muncul kekhawatiran mengenai dampak ekonomi yang mungkin timbul, terutama bagi para pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM) yang menggantungkan hidupnya pada penjualan AMDK ukuran kecil.

Putu Eka Darmawan, Direktur Rumah Plastik Mandiri di Buleleng, menyampaikan pandangannya mengenai dampak kebijakan ini. Sebagai pelaku usaha di bidang daur ulang, Eka melihat adanya peluang peningkatan kerjasama dengan berbagai instansi dan lembaga dalam pengelolaan sampah plastik. Permintaan daur ulang diprediksi akan meningkat seiring dengan kewajiban pengelolaan sampah yang kini diemban oleh berbagai pihak.

Namun, Eka juga menyoroti potensi dampak negatif terhadap mata pencaharian masyarakat. Ia menjelaskan bahwa botol plastik, terutama botol AMDK, merupakan komoditas daur ulang yang paling bernilai dan banyak dicari oleh pemulung. Larangan AMDK ukuran kecil dikhawatirkan akan mengurangi pasokan botol plastik, sehingga berpotensi mematikan usaha pengepul dan pemulung, serta memicu pemutusan hubungan kerja (PHK).

"Larangan AMDK di bawah 1 liter, berarti harus mengubah pola hidup masyarakat. Perlu dipikirkan nasib karyawannya. Harus dicari solusi yang lebih tepat," ujar Eka. Ia menekankan perlunya solusi yang komprehensif dan mempertimbangkan dampak sosial-ekonomi dari kebijakan ini.

Berikut adalah beberapa poin penting yang perlu diperhatikan terkait kebijakan pembatasan AMDK:

  • Dampak Lingkungan: Potensi pengurangan sampah plastik dan peningkatan kesadaran masyarakat terhadap isu lingkungan.
  • Dampak Ekonomi: Risiko penurunan pendapatan bagi UMKM, pengepul, dan pemulung, serta potensi PHK.
  • Perubahan Perilaku Konsumen: Masyarakat perlu beradaptasi dengan pilihan kemasan yang lebih besar atau alternatif lain seperti membawa botol minum sendiri.
  • Kesiapan Infrastruktur Daur Ulang: Pemerintah dan pelaku industri perlu memastikan ketersediaan infrastruktur daur ulang yang memadai untuk mengelola peningkatan volume sampah plastik.

Implementasi kebijakan pembatasan AMDK di Bali membutuhkan pendekatan yang hati-hati dan terukur. Pemerintah perlu melibatkan seluruh pemangku kepentingan untuk mencari solusi yang optimal, sehingga manfaat lingkungan dapat dicapai tanpa mengorbankan kesejahteraan masyarakat dan stabilitas ekonomi.