Kwitang: Dari Surga Buku yang Ramai Hingga Sepi Pembeli di Era Digital
Kwitang Dulu dan Kini: Sebuah Potret Pusat Buku yang Meredup
Dahulu, kawasan Kwitang dan Terminal Senen di Jakarta Pusat adalah denyut nadi bagi para pencinta buku. Tempat ini bukan hanya sekadar pusat jual beli buku, tetapi juga saksi bisu berbagai interaksi sosial dan bahkan menjadi latar ikonik dalam film populer "Ada Apa Dengan Cinta?" (AADC). Namun, dua dekade berselang, gemerlap surga buku ini kian meredup, digantikan oleh sepi dan tumpukan buku yang menanti pembeli.
Subhil, seorang pedagang buku yang telah menggeluti bisnis ini sejak tahun 1990, mengenang masa kejayaan Kwitang. Lokasinya yang strategis, sebagai titik temu berbagai moda transportasi umum, menjadi magnet bagi pengunjung. "Dulu ramai sekali karena di sini tempat mangkal bus, PPD, Metromini, angkot. Jadi pusat keramaian, tempat orang mau pulang kerja, mau berangkat kerja," ujarnya.
Di era sebelum dominasi internet dan smartphone, buku, koran, dan majalah adalah sumber informasi utama. Hal ini menjadikan Kwitang sebagai pusat perhatian, dipenuhi pedagang buku dan majalah yang menjajakan dagangannya hingga ke kaki lima. Kondisi ini kontras dengan situasi saat ini, di mana lapak-lapak buku tertata rapi di dalam toko, namun sepi pembeli.
"Dulu ramai sekali, sampai kebanyakan itu kaki lima. Sekarang kan nggak ada sama sekali. Sekarang zamannya banyak hal-hal yang baru seperti HP, smartphone itu kan semuanya ada," tutur Subhil, menggambarkan perubahan zaman yang signifikan.
Ketenaran Kwitang bahkan sempat mencapai layar lebar, menjadi lokasi syuting film AADC. "Alhamdulillah dulu ramai, sempat terkenal karena jadi tempat buat film juga. Kemarin juga masih syuting film itu di sini yang 'Ada Apa Dengan Cinta?' yang baru kemarin ya, 'Rangga & Cinta'," kenangnya.
Namun, popularitas tersebut tak mampu membendung arus perubahan. Meski masih menjadi lokasi syuting film Rangga & Cinta, Kwitang kini jauh dari keramaian masa lalu.
Samosir, pedagang buku di Terminal Senen, mengamini hal ini. Ia menuturkan bahwa pada era 1990-an hingga awal 2000-an, Kwitang dan Senen adalah pusat aktivitas jual beli buku yang ramai. Lokasinya yang berdekatan dengan terminal bus menjadi daya tarik tersendiri.
Kemerosotan Kwitang sebagai pusat buku dimulai seiring dengan perkembangan teknologi informasi. Kemunculan media online dan platform e-commerce mengubah cara masyarakat mencari informasi dan membeli buku.
"Pokoknya mulai sepi tuh pas sudah online-online itu lah. Mau toko online atau orang sekarang cari apa juga sudah bisa lewat online kan. Dulu orang beli buku, beli koran, sekarang yang koran saja pindah ke online kan," jelas Samosir.
Pengamatan di lokasi menunjukkan bahwa hingga siang hari, kawasan Kwitang dan Senen masih sangat sepi pengunjung. Hanya lalu lalang kendaraan yang memecah kesunyian di antara tumpukan buku. Para pedagang buku bekas hanya bisa terpaku pada layar handphone, menunggu pembeli yang tak kunjung datang. Sebuah ironi di tengah hiruk pikuk kota Jakarta.
Berikut adalah beberapa faktor yang menyebabkan penurunan popularitas pusat buku Kwitang dan Terminal Senen:
- Perkembangan Teknologi: Kemudahan akses informasi dan pembelian buku melalui internet dan e-commerce mengurangi kebutuhan masyarakat untuk mengunjungi toko buku fisik.
- Perubahan Gaya Hidup: Masyarakat kini memiliki lebih banyak pilihan hiburan dan kegiatan lain, sehingga minat terhadap membaca buku berkurang.
- Lokasi yang Kurang Strategis: Perubahan tata kota dan sistem transportasi membuat Kwitang dan Terminal Senen tidak lagi menjadi pusat keramaian seperti dulu.
Kisah Kwitang adalah cerminan perubahan zaman. Sebuah potret pusat buku legendaris yang berjuang untuk bertahan di tengah gempuran teknologi dan perubahan gaya hidup masyarakat. Nasib Kwitang kini berada di persimpangan jalan, menunggu inovasi dan adaptasi agar kembali relevan di era digital.