Kedaulatan Digital dan Tantangan Implementasi Kecerdasan Artifisial di Indonesia
Kedaulatan Digital dan Tantangan Implementasi Kecerdasan Artifisial di Indonesia
Indonesia, sebagai negara dengan tingkat adopsi kecerdasan artifisial (AI) yang signifikan di Asia Tenggara, tengah menghadapi dilema besar: bagaimana memanfaatkan potensi AI untuk mendorong pertumbuhan ekonomi digital sembari mengatasi tantangan implementasinya. Diskusi panel dalam rangka HUT ke-5 Forum Wartawan Teknologi (FORWAT) baru-baru ini mengangkat isu krusial ini, menghasilkan pandangan yang beragam dari para pakar terkait peran AI dalam perekonomian nasional dan hambatan yang perlu diatasi.
Adrian Lesmono, Country Consumer Business Lead NVIDIA, menekankan urgensi kedaulatan AI sebagai landasan digital Indonesia. Menurutnya, kedaulatan AI bukanlah sekadar wacana, melainkan kebutuhan mendesak. Ia menggambarkannya sebagai kontrol penuh atas data, peningkatan efisiensi, dan akselerasi transformasi digital. Kecepatan, keamanan, dan kemandirian teknologi AI menjadi pilar utama dalam membangun kedaulatan tersebut. Tanpa kedaulatan ini, Indonesia berisiko ketergantungan pada teknologi asing dan rentan terhadap manipulasi data.
Namun, perjalanan menuju kedaulatan AI tersebut dihadapkan pada sejumlah tantangan signifikan. Sri Safitri, Sekjen Partnership Kolaborasi Riset & Inovasi Industri Kecerdasan Artifisial (KORIKA), mengungkapkan kendala utama yang dihadapi, yaitu:
- Sumber Daya Manusia (SDM) yang terbatas: Kekurangan tenaga ahli di bidang AI menjadi penghambat utama pengembangan dan implementasi teknologi ini.
- Infrastruktur Digital yang belum merata: Kesenjangan infrastruktur digital di berbagai wilayah Indonesia masih menjadi kendala akses dan pemanfaatan AI.
- Kurangnya Pendanaan dan Riset & Pengembangan (R&D): Investasi yang masih terbatas dalam riset dan pengembangan AI menghambat inovasi dan daya saing Indonesia di kancah global.
- Hambatan Regulasi: Regulasi yang belum komprehensif terkait pengelolaan data dan kebijakan AI menjadi penghambat implementasi yang efektif dan aman.
Nailul Huda, Direktur Ekonomi Digital CELIOS, menambahkan bahwa meskipun AI diproyeksikan menjadi tulang punggung transformasi ekonomi digital Indonesia dengan pertumbuhan ekonomi nasional mencapai 5,1 persen pada 2025 dan transaksi digital mencapai Rp 2.908,59 triliun, implementasinya masih menghadapi kendala keamanan data dan biaya tinggi. Ia menekankan perlunya peningkatan kesiapan teknologi Indonesia untuk bersaing dalam inovasi global, terutama dalam infrastruktur digital dan riset AI. Hal ini mencakup pembangunan infrastruktur yang handal dan terjangkau serta peningkatan kapasitas riset dan pengembangan di bidang AI.
Insaf Albert Tarigan, Tenaga Ahli Utama Kantor Komunikasi Kepresidenan, mengajak pemerintah untuk menyusun strategi pemanfaatan AI yang komprehensif dan terintegrasi. Strategi ini harus berfungsi sebagai blueprint bagi pemerintah dan sektor swasta untuk mengadopsi, mengembangkan, dan mengimplementasikan AI secara efektif dan bertanggung jawab. Hal ini meliputi perencanaan yang matang, koordinasi antar kementerian/lembaga, serta partisipasi aktif sektor swasta.
Penerapan AI di Indonesia telah dimulai di berbagai sektor, termasuk Indosat Ooredoo Hutchison (peningkatan layanan pelanggan), GoTo (personalisasi pelanggan), Kata.ai (solusi percakapan otomatis), dan sektor pemerintahan (otomatisasi layanan publik dan moderasi konten). Namun, perlu kolaborasi yang lebih erat antara pemerintah, sektor swasta, dan akademisi untuk mempercepat pengembangan ekosistem AI yang inklusif dan berkelanjutan di Indonesia. Ini termasuk investasi yang signifikan dalam pendidikan dan pelatihan SDM, pembentukan regulasi yang mendukung, dan peningkatan kolaborasi dalam riset dan pengembangan.