Sorotan Kinerja 100 Hari Pramono-Rano: Kepuasan Publik dan Kritik Pedas Program Prioritas

Masa jabatan 100 hari Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, dan Wakil Gubernur, Rano Karno, diwarnai dengan berbagai tanggapan. Survei menunjukkan tingkat kepuasan publik yang relatif tinggi, namun di sisi lain, sejumlah organisasi masyarakat sipil melayangkan kritik tajam terhadap implementasi program-program prioritas yang dinilai belum optimal.

Indikator Politik Indonesia mencatat bahwa sekitar 60% warga Jakarta menyatakan kepuasannya terhadap kinerja Pramono Anung dan Rano Karno. Namun, angka ini menempatkan keduanya di urutan kelima dari enam gubernur di Pulau Jawa dalam hal tingkat kepuasan publik setelah 100 hari menjabat. Burhanuddin Muhtadi, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, menyoroti kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai program-program yang dijalankan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Ia menekankan perlunya sosialisasi yang lebih efektif dan kreatif, dengan memanfaatkan berbagai kanal komunikasi yang relevan dengan kehidupan sehari-hari warga.

Adam Kamil, Direktur Riset Indikator, menambahkan bahwa meskipun beberapa program seperti job fair cukup dikenal, optimisme masyarakat terhadap efektivitasnya masih rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa sosialisasi saja tidak cukup, dan manfaat program harus dirasakan langsung oleh masyarakat.

Dibandingkan dengan provinsi lain, seperti Jawa Barat, kinerja Pramono-Rano dinilai belum begitu menonjol. Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, mencatat tingkat kepuasan tertinggi hingga 94,7%. Keberhasilan ini dikaitkan dengan kemampuan Dedi Mulyadi dalam berinteraksi langsung dengan masyarakat dan membangun komunikasi publik yang kuat, terutama melalui media sosial.

Namun, evaluasi yang berbeda datang dari koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari Greenpeace Indonesia, Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK), Urban Poor Consortium (UPC), dan LBH Jakarta. Mereka menilai bahwa program-program prioritas Pramono-Rano belum menunjukkan kemajuan signifikan dalam 100 hari pertama masa jabatan. Laporan evaluasi yang diserahkan ke Balai Kota Jakarta menunjukkan penilaian rendah untuk beberapa program, seperti:

  • Pengelolaan sampah: 10/75
  • Pengelolaan pesisir dan pulau kecil: 20/75
  • Pemenuhan lapangan kerja: 20/75
  • Reforma agraria perkotaan: 20/75
  • Kampung Bayam: 20/75
  • Pelayanan publik dan birokrasi: 10/75
  • Raperda bantuan hukum: 0/75
  • Penanganan penggusuran: 30/75

Jeanny Sirait dari Greenpeace Indonesia menyoroti berbagai permasalahan di Jakarta yang masih terabaikan, termasuk lapangan kerja, lingkungan, dan penggusuran. Ia juga mengkritik lambatnya pelayanan publik dan sistem aduan masyarakat yang tidak responsif. Koalisi masyarakat sipil juga menyoroti kelanjutan proyek Giant Sea Wall, yang sebelumnya dijanjikan akan diganti dengan solusi Giant Mangrove Wall.

Sektor lingkungan juga dinilai belum menunjukkan perubahan yang signifikan. Meskipun terdapat ribuan bank sampah di Jakarta, hanya sebagian kecil yang aktif. Pemerintah justru mendorong teknologi Refused Derived Fuel (RDF) di Rorotan, yang ditolak oleh warga. Ibar dari Greenpeace menekankan perlunya fokus pada pengurangan sampah dari sumbernya, bukan teknologi insinerator.

Dalam bidang hukum, LBH Jakarta mengkritik belum diterbitkannya Perda Bantuan Hukum, yang seharusnya diimplementasikan berdasarkan UU No. 16 Tahun 2011. Alif Fauzi Nurwidiastomo dari LBH Jakarta menekankan tanggung jawab Pemprov Jakarta untuk memastikan pelayanan publik dan bantuan hukum yang adil bagi seluruh warga Jakarta.

Di sisi lain, Pramono Anung menyatakan bahwa sebagian janjinya telah mulai direalisasikan, termasuk pembagian Kartu Jakarta Pintar dan Kartu Jakarta Mahasiswa Unggul, serta pemutihan ijazah yang tertahan. Meskipun demikian, koalisi masyarakat sipil berpendapat bahwa 100 hari pertama cukup untuk menunjukkan arah dan keberpihakan kepemimpinan, dan menilai bahwa arah yang ditunjukkan oleh Pramono-Rano belum sejalan dengan visi Jakarta yang adil dan berkelanjutan.