Era Digital Menggerus Bisnis Buku Konvensional di Jakarta Pusat

Pasar buku tradisional di kawasan Senen dan Kwitang, Jakarta Pusat, kini menghadapi tantangan berat akibat gempuran era digital. Sepinya pengunjung membuat para pedagang buku hanya bisa pasrah dan mengandalkan gawai mereka untuk mencari nafkah.

Detik-detik suram industri buku konvensional ini terlihat jelas pada Rabu (4/6/2025). Dari pagi hingga siang hari, kedua sentra buku yang dulunya ramai itu tampak lengang. Kondisi ini sangat kontras dengan era kejayaan mereka di masa lalu.

Subhil (55), seorang pedagang buku di Kwitang, mengungkapkan bahwa penurunan drastis jumlah pengunjung mulai terasa sejak tahun 2015, seiring dengan maraknya platform e-commerce. Kehadiran toko online seperti Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee telah mengubah perilaku konsumen dalam membeli buku.

"Sejak era smartphone dan toko online, jumlah pengunjung terus berkurang," ujarnya dengan nada prihatin.

Selain persaingan dengan toko online, perubahan sistem transportasi umum juga turut memengaruhi bisnis buku konvensional. Dulu, bus-bus seperti PPD dan Metromini bisa berhenti di sembarang tempat, memudahkan akses ke pasar buku Kwitang. Namun, kini bus hanya berhenti di halte resmi, sehingga mengurangi jumlah orang yang melewati kawasan tersebut.

"Dulu, Kwitang adalah pusat keramaian tempat orang naik dan turun bus. Sekarang sudah tidak lagi," jelas Subhil.

Pandemi Covid-19 semakin memperburuk situasi. Para pedagang buku terpaksa menutup toko mereka dan masyarakat lebih memilih berbelanja online dari rumah. Meski kondisi sudah mulai membaik pasca pandemi, jumlah pengunjung masih jauh dari harapan.

"Sekarang ada lah satu dua pengunjung. Tapi kalau tidak ada sama sekali, ya kita tutup saja," kata Subhil.

Meski demikian, Subhil tetap optimis. Ia mengatakan bahwa pasar buku Kwitang masih memiliki daya tarik tersendiri, terutama bagi mereka yang mencari buku-buku langka dan antik.

"Di sini ada semua jenis buku, mulai dari buku pelajaran SD-SMA hingga buku kuliah, novel, komik, bahkan buku antik," ujarnya.

Untuk bertahan hidup, Subhil dan pedagang lainnya mulai merambah penjualan online. Mereka memanfaatkan platform e-commerce, media sosial seperti Facebook, dan aplikasi pesan instan seperti Whatsapp untuk menjangkau pelanggan.

"Dominasi penjualan sekarang lebih banyak online. Kita tidak pernah menghitung berapa-berapanya, tapi memang penjualan kita lebih banyak di online," aku Subhil.

Samosir (52), seorang pedagang buku di Terminal Senen, juga merasakan dampak yang sama. Ia mengatakan bahwa sepinya pengunjung sudah terjadi sejak toko online mulai populer.

"Pokoknya mulai sepi itu pas sudah online-online itu lah. Sekarang orang cari apa saja sudah bisa lewat online. Dulu orang beli buku, beli koran, sekarang yang koran saja pindah ke online," terangnya.

Bahkan, Samosir sering kali tidak mendapatkan satu pun pengunjung dalam sehari. Ia hanya bisa menghabiskan waktu menunggu di depan toko, mengobrol dengan pedagang lain, atau bermain handphone.

"Ya kadang sepi tidak ada sama sekali, kadang ada satu dua. Tapi ya banyaknya sepinya sih. Ya mau bagaimana lagi, paling cuma ngobrol sama sebelah, atau ya main hp, kadang ya melamun saja," pungkasnya.