Selebgram Ratu Entok Divonis 34 Bulan Penjara Atas Kasus Penistaan Agama

Selebgram Ratu Entok Divonis 34 Bulan Penjara Atas Kasus Penistaan Agama

Pengadilan Negeri Medan telah menjatuhkan vonis 34 bulan penjara terhadap Irfan Satria Putra Lubis, lebih dikenal sebagai Ratu Entok, seorang selebgram asal Kota Medan. Vonis tersebut dibacakan pada Senin, 10 Maret 2025, mengakhiri persidangan yang menghebohkan publik terkait kasus dugaan penistaan agama melalui media sosial. Majelis hakim yang diketuai oleh Achmad Ukayat menyatakan Ratu Entok terbukti bersalah berdasarkan dakwaan alternatif pertama jaksa penuntut umum (JPU), yakni Pasal 45A ayat (2) Jo. Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang (UU) No. 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Selain hukuman penjara, Ratu Entok juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp 100 juta, dengan ancaman hukuman kurungan tambahan 3 bulan jika denda tersebut tidak dibayar.

Dalam pertimbangannya, majelis hakim mempertimbangkan sejumlah hal yang memberatkan dan meringankan. Perbuatan Ratu Entok dinilai meresahkan masyarakat dan berpotensi merusak kerukunan hidup beragama. Namun, hakim juga mempertimbangkan permintaan maaf Ratu Entok melalui media sosial, pengakuan kesalahannya, serta catatan bersihnya dari rekam jejak kriminal sebagai faktor yang meringankan. Vonis 34 bulan penjara ini lebih rendah dari tuntutan JPU yang meminta hukuman 4,5 tahun penjara dan denda Rp 100 juta dengan ancaman hukuman pengganti 6 bulan penjara jika denda tidak dibayarkan. Perbedaan tersebut menunjukkan adanya pertimbangan majelis hakim terhadap faktor-faktor yang diajukan oleh tim pembela.

Kasus ini bermula dari siaran langsung Ratu Entok di akun TikTok pribadinya pada Rabu, 2 Oktober 2024. Dalam siaran tersebut, Ratu Entok menampilkan gambar Yesus Kristus dan melontarkan pernyataan yang dianggap menistakan agama. Jaksa penuntut umum mendakwa Ratu Entok dengan dua pasal, yaitu Pasal 45A ayat (2) Jo Pasal 28 ayat (2) UU ITE dan Pasal 156a KUHP yang berkaitan dengan penodaan agama. Dakwaan tersebut didasarkan pada konten siaran langsung yang dinilai mengandung ujaran kebencian dan penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia. Putusan Pengadilan Negeri Medan ini menjadi preseden penting dalam penegakan hukum terkait kasus ujaran kebencian dan penistaan agama di ranah digital, menekankan pentingnya bertanggung jawab atas setiap unggahan dan komentar di media sosial.

Kasus ini juga menyoroti pentingnya literasi digital dan bijak dalam menggunakan media sosial. Pernyataan-pernyataan yang dianggap menyinggung perasaan atau kelompok tertentu dapat berujung pada proses hukum dan berdampak serius bagi pelaku. Putusan hakim diharapkan dapat menjadi pembelajaran bagi masyarakat untuk lebih berhati-hati dalam berinteraksi di dunia maya dan menghindari tindakan yang dapat menimbulkan perselisihan dan mengganggu ketertiban umum. Kejadian ini kembali mengingatkan kita semua akan pentingnya menjaga toleransi dan kerukunan antar umat beragama di Indonesia.

Detail Dakwaan:

  • Pasal 45A ayat (2) Jo Pasal 28 ayat (2) UU ITE: Terkait penyebaran informasi elektronik yang mengandung ujaran kebencian dan/atau SARA.
  • Pasal 156a KUHP: Terkait perbuatan yang bersifat permusuhan atau penodaan terhadap agama.

Timeline Kasus:

  • 2 Oktober 2024: Ratu Entok melakukan siaran langsung di TikTok yang memicu kontroversi.
  • 31 Desember 2024: Jaksa Penuntut Umum membacakan dakwaan di Pengadilan Negeri Medan.
  • 17 Februari 2025: JPU menuntut Ratu Entok dengan hukuman 4,5 tahun penjara dan denda.
  • 10 Maret 2025: Pengadilan Negeri Medan menjatuhkan vonis 34 bulan penjara dan denda kepada Ratu Entok.