Polusi Udara Jabodetabek Mengkhawatirkan, KLHK Ungkap Sumber Utama Pencemaran
Kualitas udara di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) menunjukkan tren yang kurang menggembirakan. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengungkap bahwa kualitas udara di wilayah tersebut berada dalam kategori tidak sehat selama periode 1 Mei hingga 3 Juni 2025.
Menurut Direktur Perlindungan dan Pengelolaan Mutu Udara KLHK, Edward Nixon Pakpahan, data ini diperoleh dari hasil pemantauan yang dilakukan di 35 Stasiun Pemantau Kualitas Udara (SPKU) yang tersebar di berbagai lokasi di Jabodetabek. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa konsentrasi partikulat halus (PM2.5) telah melampaui ambang batas yang ditetapkan, yaitu di atas 100 dBm, jauh melebihi standar yang seharusnya 55 dBm.
"Meskipun secara kuantitatif data menunjukkan bahwa kondisi saat ini tidak lebih buruk dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya, namun peningkatan polusi udara ini tetap menjadi perhatian serius bagi kita semua," ujar Edward dalam konferensi pers yang diadakan di Jakarta Selatan, Rabu (4/6/2025).
Lebih lanjut, Edward menjelaskan bahwa tingginya tingkat polusi udara di Jabodetabek disebabkan oleh beberapa faktor utama, di antaranya:
- Emisi dari kendaraan bermotor
- Aktivitas industri
- Praktik pembakaran sampah terbuka
- Pembakaran limbah pertanian
Sektor transportasi menjadi penyumbang terbesar polusi udara, dengan kontribusi mencapai 42 hingga 52 persen dari total pencemaran. Emisi yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor, terutama yang menggunakan bahan bakar dengan kandungan sulfur tinggi, menjadi penyebab utama masalah ini. Data menunjukkan bahwa kandungan sulfur dalam bensin di Indonesia berkisar antara 350 hingga 550 ppm, sementara pada bahan bakar diesel, kandungan sulfur bahkan mencapai 1.200 ppm. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan standar internasional yang membatasi kandungan sulfur dalam bensin hingga 50 ppm.
Sektor industri juga memiliki andil signifikan dalam pencemaran udara, dengan kontribusi sebesar 13 persen. Selain itu, aktivitas pembakaran terbuka, baik untuk pengelolaan sampah maupun limbah pertanian, menyumbang sekitar 11 persen dari total polusi. Debu konstruksi bangunan juga berkontribusi sebesar 13 persen, sementara aerosol sekunder menyumbang antara 6 hingga 16 persen pada musim hujan dan 1 hingga 7 persen pada musim kemarau.
KLHK telah mengambil berbagai langkah untuk mengatasi masalah polusi udara ini. Salah satunya adalah dengan mendorong penggunaan bahan bakar dengan kandungan sulfur rendah atau standar Euro-4. Selain itu, pemerintah juga meningkatkan intensitas uji emisi kendaraan bermotor dan menindak kendaraan yang tidak memenuhi standar emisi yang ditetapkan.
Selain itu, KLHK juga meminta pemerintah daerah (pemda) untuk meningkatkan pengawasan terhadap aktivitas industri di wilayah masing-masing dan memberikan sanksi tegas kepada industri yang melanggar peraturan lingkungan. KLHK juga sedang melakukan penilaian kinerja terhadap pengelolaan lingkungan di kawasan industri di Jabodetabek.
"Saat ini, kami sedang menugaskan KLHK/BPLH untuk melakukan penilaian kinerja melalui pemantauan lapangan dan evaluasi pengelolaan lingkungan kawasan industri di Jabodetabek," ujar Deputi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK, Rasio Ridho Sani.
Langkah lain yang diambil adalah menghentikan praktik pembakaran sampah terbuka, termasuk limbah pertanian. KLHK telah mengirimkan surat kepada Menteri Pertanian, pemerintah daerah, dan kepolisian untuk meningkatkan upaya pencegahan praktik ini.