Eksodus Warga Maluku ke Belanda: Jejak Sejarah dan Pengaruhnya pada Sepak Bola Indonesia
Gelombang pemain sepak bola keturunan Maluku yang memperkuat Tim Nasional Indonesia belakangan ini memunculkan pertanyaan mengenai akar sejarah diaspora Maluku di Belanda. Nama-nama seperti Ragnar Oratmangoen, Shayne Pattynama, Eliano Reijnders Lekatompessy, Kevin Diks Bakarbessy, dan Joey Pelupessy menjadi representasi nyata dari fenomena ini. Bahkan, asisten pelatih Timnas, Denny Landzaat, dan pemandu bakat, Simon Tahamata, juga memiliki garis keturunan Maluku.
Sejarah panjang migrasi orang Maluku ke Belanda terkait erat dengan peristiwa pasca-kolonialisme di Indonesia. Situasi politik yang tidak stabil setelah kemerdekaan Indonesia memaksa ribuan warga Maluku untuk mencari perlindungan di Belanda. Faktor utama yang melatarbelakangi eksodus ini adalah pembubaran KNIL (Koninklijk Nederlands-Indisch Leger), tentara kolonial Belanda yang banyak beranggotakan warga Maluku.
Setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tahun 1950, KNIL dibubarkan, dan para prajurit Maluku dihadapkan pada pilihan sulit: bergabung dengan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) atau didemobilisasi. Ketidakpercayaan terhadap APRIS, yang dulunya merupakan lawan mereka, membuat banyak mantan prajurit KNIL enggan untuk bergabung.
Namun, situasi semakin rumit ketika Republik Maluku Selatan (RMS) memproklamasikan kemerdekaannya. Pemerintah RIS khawatir bahwa mantan prajurit KNIL akan bergabung dengan RMS dan memperkuat gerakan separatis tersebut. Akibatnya, para mantan prajurit KNIL ini dilarang kembali ke Maluku.
Dalam situasi yang serba sulit ini, pemerintah Belanda turun tangan dan menawarkan status sementara sebagai KL (Koninklijke Landmacht), atau Tentara Kerajaan Belanda. Langkah ini memungkinkan mereka untuk tetap terikat dengan dinas militer dan menghindari risiko kembali ke Maluku yang penuh konflik. Pada April 1951, pemerintah Belanda mengusulkan kepada RIS untuk membawa para mantan prajurit KNIL beserta keluarga mereka ke Belanda.
Pada 21 Maret 1951, gelombang pengungsi Maluku tiba di Belanda dengan kapal Kota Inten di Pelabuhan Rotterdam. Sekitar 12.500 orang Maluku, termasuk 4.000 mantan tentara KNIL dan 8.500 anggota keluarga mereka, dibawa ke Belanda dengan janji tinggal sementara sambil menunggu perkembangan politik lebih lanjut. Mereka kemudian ditempatkan di berbagai wilayah terpencil di seluruh Belanda, termasuk bekas kamp konsentrasi seperti Schattenberg di Drenthe dan Lunetten di Brabantse Vught.
Namun, harapan untuk kembali ke tanah air pupus seiring berjalannya waktu. Perundingan antara Indonesia dan Belanda menemui jalan buntu, dan para imigran Maluku harus menghadapi kenyataan pahit bahwa mereka tidak dapat kembali ke Maluku. Mereka beradaptasi dengan kehidupan di Eropa, mengatasi perbedaan iklim, makanan, dan bahasa.
Generasi pertama imigran Maluku hidup dalam kondisi yang sulit, tinggal di rumah kayu kecil yang sederhana. Namun, generasi kedua dan ketiga, yang lahir di Belanda, mulai membangun kehidupan yang lebih baik. Mereka memiliki akar ganda, mewarisi darah Maluku dari orang tua atau kakek-nenek mereka.
Setelah lebih dari tujuh dekade, diaspora Maluku di Belanda telah berkembang pesat. Banyak dari keturunan Maluku ini telah sukses di berbagai bidang, termasuk olahraga. Kehadiran mereka di Tim Nasional Indonesia menjadi bukti nyata dari ikatan yang kuat antara Maluku dan Belanda, serta kontribusi diaspora Maluku terhadap perkembangan sepak bola Indonesia.
- Sejarah Pasca Kolonialisme
- Pembubaran KNIL
- Republik Maluku Selatan (RMS)
- Migrasi ke Belanda
- Integrasi dan Adaptasi
- Kontribusi Diaspora