YLKI Desak OJK Evaluasi Ulang Aturan Baru Co-Payment Asuransi Kesehatan
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) melayangkan kritik tajam terhadap regulasi terbaru yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait produk asuransi kesehatan. Sorotan utama YLKI tertuju pada kewajiban co-payment atau pembagian risiko yang kini dibebankan kepada peserta asuransi. Aturan ini tertuang dalam Surat Edaran (SE) OJK Nomor 7 Tahun 2025 yang secara spesifik mengatur penyelenggaraan produk asuransi kesehatan.
Inti dari SE OJK tersebut adalah mengharuskan produk asuransi kesehatan menerapkan skema co-payment untuk layanan rawat jalan dan rawat inap. Dampaknya, peserta asuransi kini harus menanggung minimal 10 persen dari total klaim yang diajukan. Meskipun terdapat batasan maksimum, yaitu Rp 300.000 untuk rawat jalan dan Rp 3 juta untuk rawat inap per pengajuan klaim, YLKI menilai kebijakan ini berpotensi merugikan konsumen.
Sekretaris Eksekutif YLKI, Rio Priambodo, menyatakan kekecewaannya atas perubahan aturan ini. Menurutnya, prinsip dasar asuransi adalah memberikan jaminan 100 persen terhadap klaim yang diajukan peserta. Dengan adanya co-payment, esensi perlindungan asuransi menjadi berkurang. YLKI juga menyoroti potensi ketidakadilan bagi peserta yang telah memiliki polis asuransi sebelum aturan ini diberlakukan. Perubahan mendadak ini dinilai dapat merugikan konsumen yang sebelumnya tidak memperhitungkan adanya biaya tambahan dalam pengajuan klaim.
YLKI mendesak OJK untuk segera melakukan kajian ulang terhadap aturan co-payment ini. Rio Priambodo menekankan bahwa kebijakan ini dapat menimbulkan kerancuan terhadap perjanjian polis yang telah disepakati antara peserta dan perusahaan asuransi. Ia menjelaskan bahwa konsumen telah menandatangani kontrak polis yang mengatur hak dan kewajiban kedua belah pihak. Namun, dengan adanya aturan baru dari OJK, proses bisnis asuransi dapat berubah di luar ketentuan yang tercantum dalam polis.
"Aturan OJK bisa mengubah proses bisnis di luar kontrak polis. Sebab, konsumen sudah menandatangani kontrak polis di awal asuransi, namun OJK bisa mengeluarkan aturan mengenai kenaikan iuran maupun aturan lain," jelas Rio Priambodo.
SE OJK tersebut juga memberikan fleksibilitas kepada perusahaan asuransi untuk menerapkan batas maksimum co-payment yang lebih tinggi, asalkan disepakati oleh pemegang polis atau peserta dan dinyatakan secara jelas dalam polis asuransi. Selain itu, aturan ini juga mengatur koordinasi manfaat antarpenyelenggara jaminan, di mana nilai co-payment minimal 10 persen dihitung dari total klaim yang menjadi kewajiban perusahaan asuransi.
Perlu dicatat bahwa ketentuan co-payment ini hanya berlaku untuk produk asuransi kesehatan dengan prinsip ganti rugi (indemnity) dan produk asuransi kesehatan dengan skema pelayanan kesehatan yang terkelola (managed care). YLKI berharap OJK dapat mempertimbangkan kembali dampak dari aturan ini terhadap konsumen dan mencari solusi yang lebih adil dan transparan bagi semua pihak.