Masjid Suro Palembang: Warisan Sejarah dan Spiritual Bumi Sriwijaya

Masjid Suro Palembang: Warisan Sejarah dan Spiritual Bumi Sriwijaya

Masjid Al-Mahmudiyah, lebih dikenal sebagai Masjid Suro, berdiri megah sebagai salah satu bukti nyata perjalanan panjang peradaban Islam di Palembang, Sumatera Selatan. Berstatus sebagai masjid tertua kedua di kota ini, bangunan bersejarah tersebut menyimpan kisah inspiratif dan nilai-nilai spiritual yang hingga kini masih terasa kental. Lokasinya yang strategis di pertigaan Jalan Kirangga Wira Sentika dan Jalan Ki Gede Ing Suro, Kelurahan 30 Ilir Kecamatan Ilir Barat II, menjadikannya mudah diakses dan tetap relevan dalam kehidupan masyarakat modern.

Menurut Sekretaris Masjid Suro, Hajrianto Akbar, pembangunan masjid yang dimulai pada tahun 1310 Hijriah (sekitar 1889 Masehi) ini merupakan buah karya Kiai Kiagus Haji Khatib Mahmud, seorang saudagar terpandang, bersama Kiai Abdurrahman Delamat dan dukungan penuh warga sekitar. Proses pembangunannya sendiri sarat akan tantangan. Di tengah masa penjajahan Belanda, pembangunan dilakukan secara bertahap, memanfaatkan material sederhana seperti batu, papan, dan kayu untuk dinding dan tiang penyangga. Kayu-kayu tersebut bahkan diangkut melalui jalur sungai Musi, sebuah proses yang menuntut kerja keras dan ketekunan luar biasa mengingat letak masjid yang cukup jauh dari aliran sungai tersebut. Hal ini menggambarkan betapa kuatnya tekad para pendahulu dalam menyebarkan ajaran Islam, meskipun di bawah tekanan pemerintahan kolonial.

Tujuan utama pembangunan Masjid Suro adalah untuk memperluas syiar Islam di tengah masyarakat. Namun, upaya tersebut harus dilakukan secara hati-hati karena pengawasan ketat dari pemerintah kolonial Belanda. Arsitektur masjid yang sederhana namun kokoh, mencerminkan adaptasi budaya lokal dengan nilai-nilai keagamaan. Meskipun telah mengalami beberapa kali renovasi, bentuk asli Masjid Suro tetap dipertahankan, sebagaimana komitmen untuk menjaga keaslian warisan budaya ini. Renovasi yang dilakukan, seperti penggantian tiang-tiang kayu yang lapuk akibat rayap dengan material cor semen, dilakukan dengan sangat hati-hati agar tidak mengubah struktur bangunan utama.

Masjid yang telah berdiri selama 133 tahun ini telah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan. Awalnya, luas lahan masjid hanya 17 x 17 meter, namun kini telah berkembang menjadi lebih luas dan terbagi menjadi tiga bagian: bagian tengah sebagai area salat utama, bagian kanan yang difungsikan untuk kegiatan berbuka puasa, dan bagian kiri sebagai tempat salat jamaah perempuan. Keunikan Masjid Suro juga terletak pada keberadaan ‘kambang’ atau sumur di sisi kanan masjid. Air sumur ini terus mengalir hingga kini dan dipercaya oleh beberapa jemaah memiliki khasiat pengobatan. Airnya digunakan untuk berwudhu, dan sebagian jemaah meyakini air tersebut memiliki berkah dan khasiat penyembuhan. Air sumur ini mengalir hingga ke sungai Musi, sebuah keajaiban alam yang menambah nilai spiritual masjid ini.

Masjid Suro bukan sekadar bangunan tua; ia adalah simbol ketahanan, keuletan, dan semangat dakwah umat Islam di Palembang. Ia merupakan warisan berharga yang perlu dijaga dan dilestarikan sebagai bukti nyata perjalanan sejarah dan perkembangan Islam di Bumi Sriwijaya. Keberadaan sumur berkah tersebut juga menambahkan dimensi spiritual yang unik dan menarik bagi para pengunjung dan jamaah.