Polemik Ayam Goreng Widuran: Pengakuan Nonhalal Mengguncang Pelanggan Setia
Pengakuan mengejutkan datang dari rumah makan legendaris Ayam Goreng Widuran di Solo, Jawa Tengah. Setelah lebih dari setengah abad beroperasi, rumah makan yang berdiri sejak 1973 ini secara terbuka menyatakan bahwa salah satu bahan dalam hidangannya berstatus nonhalal. Pengumuman ini sontak menuai kekecewaan dari para pelanggan setianya, yang merasa informasi tersebut seharusnya disampaikan jauh sebelumya.
Klarifikasi yang disampaikan melalui akun Instagram resmi @ayamgorengwiduransolo mengungkapkan bahwa kremesan ayam yang menjadi ciri khas mereka menggunakan minyak nonhalal. Sementara itu, ayam gorengnya sendiri dimasak dengan minyak kelapa merek Barco. Keterlambatan pengungkapan informasi ini menjadi sumber utama kekecewaan publik, yang merasa selama bertahun-tahun mengonsumsi produk yang tidak sesuai dengan keyakinan mereka.
Reaksi Cepat Pemerintah Kota Solo
Merespons kegaduhan yang terjadi, Wali Kota Solo, Respati Ardi, langsung melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke rumah makan tersebut. Karena pemilik sedang tidak berada di tempat, Respati menghubunginya melalui telepon dan menginstruksikan penutupan sementara guna dilakukan penilaian ulang oleh dinas terkait. Tindakan cepat ini menunjukkan keseriusan pemerintah kota dalam menanggapi keluhan masyarakat dan memastikan transparansi informasi terkait produk makanan yang beredar di wilayahnya.
"Saya imbau untuk ditutup dulu dilakukan assessment ulang oleh OPD-OPD terkait kehalalan dan ketidakhalalan," tegas Respati saat itu. Selain itu, Wali Kota juga meminta pemilik rumah makan untuk mengajukan sertifikasi, baik halal maupun nonhalal, sebagai bentuk keterbukaan informasi kepada konsumen.
Hasil Uji Laboratorium dan Pembukaan Kembali
Sebagai tindak lanjut, Pemerintah Kota Solo mengirimkan sampel bahan makanan Ayam Goreng Widuran ke Laboratorium Veteriner di Boyolali. Hasil uji laboratorium yang keluar pada tanggal 3 Juni 2025 menunjukkan bahwa produk tersebut tidak mengandung babi, namun tetap dikategorikan nonhalal. Dengan hasil ini, Pemkot Solo mengizinkan rumah makan untuk kembali beroperasi, dengan catatan status nonhalal harus dicantumkan secara jelas dan mencolok di seluruh outlet dan media sosial mereka.
"Kalau tidak (sertifikasi halal), silakan katakan jujur tidak halal dan ditulis sing gede (yang besar)," ujar Respati menekankan pentingnya kejujuran dan keterbukaan informasi.
Status Sertifikasi Halal dan Implikasi Hukum
Kepala Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Solo, Ahmad Ulin Nur Hafsun, menjelaskan bahwa sertifikasi halal sebenarnya tidak bersifat wajib, asalkan pelaku usaha secara terbuka menyatakan bahwa produknya nonhalal. Pernyataan ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, yang mewajibkan pelaku usaha untuk menyatakan status halal jika memang mengklaimnya.
Meskipun sempat dilaporkan ke polisi oleh seorang warga, kasus Ayam Goreng Widuran tidak berlanjut ke ranah pidana. Kasatreskrim Polresta Solo, AKP Prastiyo Triwibowo, menjelaskan bahwa laporan tersebut lebih tepat dikategorikan sebagai ranah administratif.
Pelajaran Penting bagi Pelaku Usaha Kuliner
Kasus Ayam Goreng Widuran menjadi pelajaran berharga bagi para pelaku usaha kuliner, terutama mengenai pentingnya transparansi sejak awal terkait status halal atau nonhalal produk mereka. Kejujuran dan keterbukaan informasi bukan hanya tentang kepatuhan terhadap regulasi, tetapi juga tentang membangun dan menjaga kepercayaan konsumen. Kegaduhan publik yang terjadi seharusnya menjadi pengingat bahwa konsumen memiliki hak untuk mengetahui informasi yang jelas dan akurat mengenai produk yang mereka konsumsi.