Terhimpit Ekonomi, Pemuda Cilincing Pertaruhkan Jiwa Demi Rupiah di Jalanan

Di tengah hiruk pikuk lalu lintas Jakarta Utara, tepatnya di kawasan Cilincing, belasan pemuda mempertaruhkan nyawa mereka setiap hari. Bukan untuk sebuah aksi heroik, melainkan demi sesuap nasi. Mereka adalah para joki jalanan, yang dengan berani menantang maut di tengah deru kendaraan besar yang mendominasi jalanan.

Guntur (23), seorang warga Kalibaru, Cilincing, telah menjalani profesi ini selama dua tahun terakhir. Keputusannya untuk menjadi joki jalanan bukan tanpa alasan. PHK menjadi pemicu utama, mendorongnya untuk mencari nafkah halal meski dengan risiko yang sangat tinggi. "Daripada menganggur atau melakukan tindakan kriminal, lebih baik mencari rezeki yang halal, meskipun harus bekerja sebagai tukang parkir di tengah jalan," ujarnya.

Di sepanjang Jalan Raya Cilincing, antara 12 hingga 15 joki jalanan dapat ditemukan setiap harinya. Kehadiran mereka mungkin membingungkan bagi para pengendara yang baru pertama kali melintas. Pertanyaan tentang fungsi dan tujuan mereka berdiri di tengah jalan seringkali muncul. Namun, bagi Guntur dan rekan-rekannya, tugas mereka adalah mulia: menyelamatkan pengendara dari bahaya kecelakaan.

"Kami membantu menyeberangkan jalan, melindungi pengendara dari tabrakan kontainer atau kendaraan lain yang melaju kencang," jelas Guntur. Jalan Raya Cilincing memang dikenal sebagai jalur yang padat dengan kendaraan berat seperti truk trailer dan kontainer. Tak jarang, pelanggaran lalu lintas seperti menerobos lampu merah dilakukan oleh pengemudi kendaraan besar, membahayakan para pengendara motor yang ingin menyeberang dari arah Kramat Jaya Koja.

Para joki jalanan ini berperan sebagai penyeberang jalan dadakan, menghentikan kontainer yang berpotensi menerobos lampu merah dan membahayakan pengendara lain. "Bukan hanya kontainer, mobil kecil pun sering menerobos lampu merah. Itu sebabnya kami hadir di sini, untuk menghentikan mereka," kata Guntur.

Kehadiran para joki jalanan ini ternyata cukup membantu warga yang melintas. Banyak pengendara yang merasa terbantu dan memberikan sedikit rezeki sebagai ucapan terima kasih. Rata-rata, setiap pengendara memberikan uang sebesar Rp 2.000 setelah diseberangkan. "Uang Rp 2.000 itu sebanding dengan nyawa kami, karena kami harus menghentikan kontainer di tengah jalan," ungkapnya.

Namun, tak semua pengendara berbaik hati. Ada pula yang enggan memberikan uang setelah mendapatkan bantuan. Meski demikian, Guntur dan teman-temannya berusaha untuk tetap ikhlas dan tidak memaksa. Ia pun berharap dapat menemukan pekerjaan yang lebih layak di masa depan. "Jika ada pekerjaan yang lebih baik, kami tentu ingin beralih, daripada terus-menerus mempertaruhkan nyawa seperti ini," pungkas Guntur.