Hilirisasi Nikel Indonesia: Antara Ambisi Ekonomi, Tekanan Global, dan Isu Lingkungan

Indonesia, dengan cadangan nikel yang signifikan, tengah menjadi pusat perhatian global berkat program hilirisasi nikel yang ambisius. Program yang digulirkan sejak 2014 ini telah mengubah lanskap ekonomi Indonesia, menjadikannya salah satu eksportir nikel terbesar di dunia. Namun, kesuksesan ini tidak datang tanpa tantangan. Isu lingkungan dan tekanan geopolitik dari negara-negara besar membayangi perjalanan hilirisasi nikel Indonesia.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat bahwa Indonesia menyumbang sekitar 65% pasokan nikel dunia. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menekankan pentingnya nikel sebagai mineral kritis, dengan 43% cadangannya berada di Indonesia. Hilirisasi nikel dipandang sebagai strategi untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya alam ini.

Menurut Bahlil, hilirisasi nikel telah mendongkrak pendapatan negara secara signifikan, dari US$ 3,3 miliar pada 2017-2018 menjadi US$ 34 miliar pada 2024. Peningkatan ini menunjukkan potensi besar hilirisasi dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, keberhasilan ini juga memicu reaksi keras dari berbagai pihak.

Protes datang dari negara asing dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mengkritik praktik hilirisasi nikel Indonesia sebagai 'kotor' dan tidak ramah lingkungan. Isu deforestasi, pencemaran air dan tanah, serta dampak sosial terhadap masyarakat menjadi sorotan utama. Bahlil menanggapi kritik ini dengan menyatakan bahwa penambangan nikel pasti melibatkan tanah, dan pemerintah menyadari perlunya perbaikan dalam program hilirisasi.

Ketua Umum Forum Industri Nikel Indonesia (FINI), Arif Perdanakusumah, menyoroti adanya kampanye negatif berkelanjutan terhadap industri nikel Indonesia. Mulai dari gugatan Uni Eropa ke World Trade Organization (WTO) pada 2020, penerapan tarif tambahan dari Amerika Serikat, hingga kampanye 'dirty nickel'. Arif berpendapat bahwa kampanye negatif ini merupakan bagian dari perang dagang global.

Ia mengajak negara lain untuk melihat hilirisasi nikel Indonesia secara komprehensif, tidak hanya dari sisi negatifnya. Manfaat positif seperti peningkatan investasi, diversifikasi rantai pasok nikel dunia, dan potensi inovasi teknologi juga perlu diperhatikan. Arif menambahkan bahwa pelaku hilirisasi nikel di Indonesia terus berupaya memenuhi standar ketat yang ditetapkan pemerintah dan meningkatkan standar operasional sesuai persyaratan internasional. Beberapa perusahaan bahkan telah memulai proses sertifikasi dengan institusi global seperti IRMA (Initiatives for Responsible Mining Assurance).

Guru besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana, mengingatkan bahwa dengan sumber daya mineral yang melimpah dan program hilirisasi, Indonesia berada pada posisi rentan terhadap tekanan global. Uni Eropa dan Amerika Serikat, yang bergantung pada mineral Indonesia, berpotensi memberikan tekanan signifikan. Hikmahanto mencontohkan gugatan Uni Eropa ke WTO dan permintaan Amerika Serikat agar Indonesia menghentikan hilirisasi sebagai syarat penurunan tarif.

Hikmahanto mengibaratkan posisi geopolitik Indonesia dalam hal mineral seperti Ukraina, menjadi medan pertempuran kepentingan negara-negara besar. Ia menekankan pentingnya kewaspadaan pemerintah terhadap tekanan dari berbagai pihak agar kepentingan nasional dapat terjamin.

Daftar Upaya Pembenahan

Berikut ini adalah daftar upaya pembenahan yang dilakukan:

  • Peningkatan standar operasional
  • Proses sertifikasi dengan institusi global seperti IRMA (Initiatives for Responsible Mining Assurance).
  • Pemenuhan persyaratan ketat yang ditetapkan pemerintah.

Indonesia berada di persimpangan jalan dalam pengembangan industri nikelnya. Di satu sisi, hilirisasi menawarkan potensi ekonomi yang besar. Di sisi lain, isu lingkungan dan tekanan geopolitik menuntut pendekatan yang hati-hati dan berkelanjutan. Pemerintah Indonesia perlu menavigasi tantangan ini dengan bijaksana untuk memastikan bahwa hilirisasi nikel memberikan manfaat maksimal bagi negara dan masyarakat, tanpa mengorbankan lingkungan dan kepentingan nasional.