Efisiensi Anggaran Pemerintah: Dampak Ganda pada Pertumbuhan Ekonomi Nasional
markdown Perekonomian sebuah negara dapat diibaratkan sebagai mesin kompleks, yang keberlangsungan operasionalnya bergantung pada interaksi berbagai komponen. Konsumsi rumah tangga, investasi, perdagangan internasional, dan belanja pemerintah memainkan peran vital dalam menjaga denyut nadi ekonomi. Di Indonesia, belanja pemerintah memiliki peran sentral sebagai stimulus utama, memompa aktivitas ekonomi dan menjaga stabilitas.
Namun, efisiensi anggaran pemerintah yang digagas melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 32 Tahun 2025 tentang Standar Biaya Masukan (SBM) Tahun Anggaran 2026, memunculkan dilema. Di satu sisi, efisiensi anggaran diharapkan dapat meningkatkan efektivitas dan pengelolaan keuangan negara. Di sisi lain, implementasi kebijakan ini berpotensi menghambat laju pertumbuhan ekonomi, terutama di tengah kondisi global yang penuh tantangan.
Kinerja Ekonomi Nasional dan Peran Belanja Pemerintah
Pada kuartal I 2025, pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat melambat menjadi 4,87 persen. Sektor konsumsi rumah tangga, yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian, hanya tumbuh 4,89 persen. Investasi juga mengalami kontraksi, hanya tumbuh 2,12 persen. Sementara itu, sektor ekspor-impor tertekan oleh defisit neraca perdagangan dan ketegangan perang tarif antar negara. Dalam situasi seperti ini, belanja pemerintah menjadi satu-satunya jangkar yang menopang stabilitas ekonomi. Pada kuartal I 2025, pemerintah telah merealisasikan belanja sebesar Rp 620,3 triliun, setara dengan 17,1 persen dari target tahunan.
Dampak SBM 2026 pada Sektor Riil
Kebijakan SBM 2026 yang bertujuan untuk melakukan efisiensi anggaran, justru berpotensi memicu efek domino yang kurang menguntungkan bagi sektor riil. Pemangkasan honorarium pengelola keuangan, penghapusan biaya komunikasi dan uang saku rapat, serta penurunan biaya transportasi, dapat berdampak negatif pada berbagai sektor ekonomi.
Sebagai contoh, kebijakan serupa yang diterapkan pada tahun 2015, yakni pelarangan seminar di hotel, telah menyebabkan penurunan signifikan pada industri perhotelan. Okupansi hotel di kota-kota kecil merosot tajam, banyak hotel yang terpaksa gulung tikar. Sektor penerbangan juga mengalami penurunan jumlah penumpang dari kalangan PNS. Kondisi serupa mulai dirasakan kembali sejak pengumuman SBM 2026. PHRI melaporkan penurunan okupansi hotel sebesar 18 persen, maskapai penerbangan mencatat penurunan 12 persen penumpang korporat, dan UMKM di sekitar pusat pemerintahan mengalami penurunan permintaan.
Belajar dari Negara Lain
Di negara-negara lain, peran belanja pemerintah sebagai stimulus ekonomi sangat diakui. Italia mengalokasikan 53,8 persen PDB untuk belanja pemerintah, Irlandia 22,65 persen, dan Jepang menggelontorkan stimulus besar-besaran saat pandemi untuk menyelamatkan sektor riil. Indonesia, dengan rasio belanja pemerintah sekitar 16,65 persen PDB, sebenarnya masih memiliki ruang fiskal. Namun, ruang tersebut justru dipersempit oleh kebijakan efisiensi yang kurang tepat sasaran.
Efisiensi yang Berdampak Negatif
Penghapusan uang saku rapat, misalnya, terlihat sebagai langkah efisien untuk mengurangi belanja. Namun, tidak semua koordinasi dapat digantikan oleh platform virtual seperti Zoom. Dalam penyusunan dokumen perencanaan strategis lintas kementerian, pembahasan lintas sektor, interaksi fisik menjadi suatu kebutuhan. Pemangkasan honorarium pengelola keuangan juga berpotensi menimbulkan moral hazard. Jika beban kerja bertambah tanpa disertai penghargaan yang memadai, motivasi kerja akan menurun.
Harapan di Tengah Tantangan
Penambahan satuan biaya magang mahasiswa menjadi secercah harapan. Namun, tanpa target yang jelas, jumlah mahasiswa yang akan dibantu, sektor yang akan dituju, dan evaluasi hasil, langkah ini berpotensi menjadi sekadar formalitas administratif.
Efisiensi anggaran bukan hanya tentang pemangkasan angka, tetapi juga tentang menjaga kepercayaan masyarakat. Kebijakan SBM harus memastikan keberlanjutan program, melindungi sektor-sektor yang rentan, dan menciptakan dampak sosial yang positif. Negara bukan sekadar neraca keuangan, tetapi juga janji untuk memastikan roda ekonomi terus berputar, tanpa menimbulkan ketimpangan dan kemandekan.