Korupsi Peradilan: Mengembalikan Marwah Hukum di Indonesia
Institusi pengadilan, yang seharusnya menjadi pilar utama dalam menegakkan keadilan, kini menghadapi tantangan serius akibat praktik korupsi yang menggerogoti sistem. Kasus dugaan pencucian uang yang melibatkan mantan pejabat Mahkamah Agung (MA), Zarof Ricar, senilai Rp 915 miliar dan 51 kilogram emas, menjadi bukti nyata bahwa praktik jual beli putusan perkara masih menjadi masalah laten di peradilan Indonesia.
Skandal ini bukan sekadar pelanggaran etika atau tindak kriminal individual, melainkan mencerminkan krisis legitimasi yang mendalam dalam sistem peradilan. Masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap institusi yang seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan. Praktik korupsi di pengadilan tidak hanya merugikan mereka yang lemah secara ekonomi, tetapi juga mengancam fondasi negara hukum.
Sistem Hukum dan Tantangan Integritas
Lawrence Friedman, melalui teori sistem hukumnya, menekankan bahwa penegakan hukum yang efektif memerlukan substansi hukum yang baik, struktur hukum yang akuntabel, dan budaya hukum yang berintegritas. Namun, struktur lembaga peradilan di Indonesia saat ini masih rentan terhadap praktik suap dan intervensi dari pihak luar. Pengawasan internal belum sepenuhnya independen, sementara Komisi Yudisial (KY) sebagai pengawas eksternal seringkali menghadapi keterbatasan wewenang.
Budaya hukum yang lebih mengutamakan loyalitas semu dan orientasi kekuasaan daripada misi keadilan semakin memperburuk situasi. Niklas Luhmann mengingatkan bahwa sistem hukum modern harus beroperasi berdasarkan komunikasi normatif, bukan personalisasi. Ketika putusan hakim dipengaruhi oleh relasi transaksional, bukan oleh norma dan argumentasi hukum, maka pengadilan kehilangan fungsinya sebagai penjaga keadilan.
Menegakkan Keadilan: Sebuah Upaya Kolektif
John Rawls, dalam A Theory of Justice, mempertanyakan mengapa institusi yang dibentuk untuk mewujudkan keadilan justru seringkali menjadi penghambatnya. Ia menawarkan prinsip keadilan sebagai fairness, yang memerlukan aktor-aktor berintegritas. Mewujudkan keadilan membutuhkan prasyarat yang kuat, termasuk struktur dan budaya hukum yang mendukung nilai-nilai keadilan.
Hukum progresif yang digagas oleh Satjipto Rahardjo relevan dalam konteks ini. Hukum tidak boleh hanya dipandang sebagai teks, tetapi sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan substantif. Hakim, sebagai penegak hukum, harus bertindak sebagai penegak keadilan yang berintegritas.
Keteladanan dari pimpinan kekuasaan peradilan sangat penting untuk menunjukkan bahwa pengadilan adalah tempat mencari keadilan, bukan tempat menjual putusan. Penguatan Komisi Yudisial, terutama dari aspek sumber daya, juga menjadi langkah krusial. Selain itu, perlu dibangun budaya hukum baru yang tidak mentolerir penyimpangan dan menjadikan integritas sebagai nilai utama.
Pendaftaran anggota Komisi Yudisial yang dibuka pada 2-23 Juni 2025 menjadi momentum penting untuk memperkuat lembaga pengawas hakim ini.
Upaya untuk memperbesar cahaya keadilan di pengadilan harus terus dilakukan. Jika tidak, demokrasi Indonesia tidak hanya akan terluka, tetapi juga kehilangan esensinya.