MK Tegaskan: ASN Terpidana Tetap Dapat Diberhentikan

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan yang diajukan oleh seorang mantan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dari Badan Pusat Statistik (BPS), Lucky Permana, terkait dengan ketentuan pemberhentian ASN yang telah menjalani masa pidana.

Dalam putusannya, MK menegaskan bahwa pemberhentian dengan tidak hormat (PTDH) bagi ASN yang terbukti melakukan tindak pidana bukanlah merupakan bentuk hukuman ganda. Ketua MK, Suhartoyo, menyampaikan putusan ini dalam sidang yang digelar pada hari Kamis (5/6/2025).

Majelis Hakim MK berpendapat bahwa PTDH terhadap ASN yang melakukan pelanggaran berat, terutama yang telah terbukti secara hukum, adalah tindakan yang wajar. Tindakan pidana yang dilakukan oleh seorang ASN dianggap sebagai pengkhianatan terhadap jabatan yang dipercayakan kepadanya. Jabatan ASN seharusnya diemban demi kepentingan bangsa dan negara, serta untuk melayani masyarakat.

MK juga menolak anggapan bahwa PTDH merupakan sanksi ganda. Menurut MK, pemberhentian ASN setelah menjalani hukuman pidana merupakan konsekuensi dari putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. PTDH dianggap sebagai sanksi lanjutan setelah proses peradilan selesai, bukan sebagai hukuman tambahan atas perbuatan yang sama.

Lucky Permana, pemohon dalam perkara ini, sebelumnya diberhentikan dengan tidak hormat dari BPS setelah dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana kelalaian dalam menjalankan tugasnya sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Akibat kelalaian tersebut, Lucky dijatuhi hukuman penjara selama 2 tahun 6 bulan dan denda sebesar Rp 250 juta.

Keputusan pemberhentian Lucky didasarkan pada Undang-Undang ASN yang mengatur tentang pemberhentian PNS yang telah dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Lucky kemudian mengajukan gugatan ke MK dengan alasan bahwa pemberhentian dirinya dilakukan tanpa mempertimbangkan aspek-aspek individual seperti rekam jejak kinerja, kompetensi, kontribusi, dan potensi rehabilitasi.

Lucky berpendapat bahwa Pasal 52 ayat (3) huruf i Undang-Undang ASN tidak memberikan ruang bagi penilaian individual untuk menilai kelayakan pemberhentian atau rehabilitasi administratif bagi ASN yang telah menjalani hukuman pidana. Hal ini, menurutnya, secara permanen menghilangkan hak konstitusionalnya untuk bekerja kembali di sektor pemerintahan.

Dalam petitumnya, Lucky meminta MK untuk menyatakan bahwa Pasal 52 ayat (3) huruf i dan ayat (4) sepanjang frasa "huruf i" Undang-Undang ASN bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Ia mengusulkan agar pemberhentian tidak dengan hormat hanya dapat dilakukan setelah adanya penilaian individual dan rehabilitasi administratif bagi ASN yang telah menjalani hukuman pidana.

Berikut adalah poin-poin penting dari pertimbangan MK dalam menolak gugatan Lucky Permana:

  • Pemberhentian ASN yang melakukan tindak pidana adalah wajar karena telah mengkhianati jabatan.
  • PTDH bukan merupakan sanksi ganda, melainkan konsekuensi dari putusan pengadilan.
  • Penilaian individual terhadap ASN yang melakukan tindak pidana tidak dapat mengesampingkan ketentuan pemberhentian yang diatur dalam UU ASN.

Dengan ditolaknya gugatan ini, MK menegaskan bahwa ketentuan mengenai pemberhentian ASN yang melakukan tindak pidana tetap berlaku. Hal ini diharapkan dapat menjadi pedoman bagi instansi pemerintah dalam menindak ASN yang terbukti melakukan pelanggaran hukum.