Kekurangan Pasokan Solar Hantui Operator Bus Sumatra, Antrean Panjang Jadi Momok

Kabar kurang sedap menghampiri industri transportasi darat, khususnya para operator bus yang melayani rute lintas Sumatra-Jawa. Keluhan mengenai sulitnya mendapatkan pasokan solar terus bergema, mengancam kelancaran operasional armada.

Kurnia Lesani Adnan, Ketua Umum Ikatan Pengusaha Otobus Muda Indonesia (IPOMI), mengungkapkan bahwa para pengusaha bus merasa terbebani dengan kebijakan pembatasan solar bersubsidi. Menurutnya, jatah maksimal 200 liter per hari per kendaraan dengan penggunaan barcode terasa sangat membatasi.

"Kami sebagai pelayan masyarakat umum masih terbelenggu akan kebijakan penjatahan BBM solar subsidi," ujar Kurnia Lesani Adnan.

Lebih lanjut, Sani menyoroti berbagai dinamika yang terjadi di lapangan terkait penerapan kebijakan ini. Ia menyebutkan adanya praktik pungutan liar oleh oknum operator SPBU di beberapa daerah, yang semakin memperparah keadaan.

"Kebijakan yang dilaksanakan oleh SPBU di bawah kendali Pertamina ini sendiri banyak dinamika yang tidak seharusnya terjadi, di mana menghambat operasional angkutan darat dan terjadi pungli yang dilakukan oleh operator SPBU Pertamina di daerah-daerah," jelas Sani.

Kondisi ini diperparah dengan kelangkaan solar bersubsidi di banyak SPBU. Pasokan yang tidak mencukupi memaksa para pengemudi bus untuk mengantre berjam-jam, bahkan hingga semalaman, hanya untuk mendapatkan jatah solar. Dampaknya, waktu istirahat kru menjadi berkurang dan perawatan kendaraan terganggu.

"Kami harus mengantre sampai satu hari, bahkan semalaman seperti di Propinsi Bengkulu sampai saat ini masih terjadi. Alasan SPBU itu suplai BBM solar subsidi datangnya hanya satu kali setiap hari dan hanya dapat jatah 8000 kl saja," ungkap Sani.

Sani juga menambahkan, jumlah SPBU yang menjual solar bersubsidi sangat terbatas, dan lokasinya pun seringkali berada di luar kota. Hal ini menambah panjang antrean dan semakin menyulitkan para operator bus.

Selain masalah kelangkaan solar, industri bus AKAP juga menghadapi tantangan lain, seperti penurunan daya beli masyarakat. Setelah periode angkutan Lebaran 2025, terjadi penurunan signifikan dalam tingkat okupansi penumpang bus.

"Pascaangkutan lebaran tahun 2025 ini okupansi penumpang bus sangat jauh turun (drop) dibanding setelah lebaran tahun 2024, di mana perbandingan tahun 2024. Tahun 2025 di semester yang sama turun hingga 22%. Indikasi ini pun kami melihat sangat anomali, di mana ada beberapa long weekend tidak terjadi lonjakan yang berarti baik penumpang AKAP, AKDP, dan pariwisata (charter)," tutur Sani.

Penurunan ini menjadi indikasi adanya anomali, terutama karena beberapa periode libur panjang tidak memberikan dampak signifikan terhadap peningkatan jumlah penumpang. Kondisi ini semakin menambah beban bagi para pengusaha bus yang tengah berjuang untuk mempertahankan bisnis mereka.