Pakar Hukum Pidana UGM: Dalam Kasus Suap, Realisasi Tujuan Bukan Syarat Utama Pembuktian

Pakar Hukum Pidana UGM: Dalam Kasus Suap, Realisasi Tujuan Bukan Syarat Utama Pembuktian

Seorang ahli hukum pidana dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Muhammad Fatahillah Akbar, memberikan keterangan penting dalam sidang dugaan suap yang melibatkan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI-P, Hasto Kristiyanto, terkait kasus pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI. Fatahillah Akbar menegaskan bahwa dalam kasus suap, pembuktian bersalah tidak mengharuskan terwujudnya tujuan penyuapan. Keterangan ini disampaikan dalam sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (5/6/2025).

Fatahillah Akbar menjelaskan bahwa fokus utama dalam delik suap adalah pada mens rea, atau niat jahat dari pelaku, bukan pada actus reus, atau akibat yang timbul dari tindakan tersebut. Dengan kata lain, bahkan jika upaya suap gagal mencapai tujuannya, pelaku tetap dapat dinyatakan bersalah atas tindak pidana suap. "Dalam konteks tadi itu tidak perlu terbukti apakah hal tersebut memenuhi atau tidak, karena dia bahkan masuk dalam unsur mens rea, bukan dalam konteks actus reus atau unsur akibat dalam suatu unsur delik," kata Fatah.

Kasus ini berpusat pada dugaan suap yang dilakukan oleh Harun Masiku, yang berupaya menjadi anggota DPR RI melalui mekanisme PAW. Meskipun Harun Masiku gagal menduduki kursi DPR RI, proses hukum terkait dugaan suap tetap berjalan. Jaksa penuntut umum menduga bahwa sebagian dana suap yang digunakan Harun Masiku berasal dari Hasto Kristiyanto, yang juga dituduh menjanjikan akan menalangi biaya suap sebesar Rp 1,5 miliar. Namun, tuduhan ini dibantah keras oleh Hasto Kristiyanto dan tim kuasa hukumnya.

Dalam persidangan sebelumnya, sejumlah saksi juga telah dimintai keterangan, namun tidak ada satupun yang secara eksplisit menyatakan bahwa dana suap tersebut berasal dari Hasto Kristiyanto. Hasto Kristiyanto sendiri didakwa dengan dua pasal, yaitu perintangan penyidikan (obstruction of justice) dan suap terkait upaya Harun Masiku menjadi anggota DPR RI PAW periode 2019-2024. Dakwaan pertama menjerat Hasto dengan Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 65 Ayat (1) KUHP, sementara dakwaan kedua menjeratnya dengan Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.

Penjelasan Fatahillah Akbar mengenai delik formal dalam kasus suap memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai unsur-unsur yang harus dibuktikan dalam proses peradilan. Menurutnya, tindak pidana suap termasuk dalam kategori delik formal, yang berarti bahwa pembuktian kausalitas antara tindakan pemberi suap dan penerima suap tidak diperlukan. "Makanya saya bisa pertegas, delik suap itu masih merupakan delik formal, karena tidak perlu ada akibat yang terjadi," tutur Fatah. Hal ini menggarisbawahi bahwa niat jahat (mens rea) untuk melakukan suap sudah cukup untuk memenuhi unsur pidana, terlepas dari apakah tujuan suap tersebut tercapai atau tidak.