Ketua MA Dorong Penyelesaian Sengketa Melalui Mediasi: Perdamaian Pilar Utama Hukum

Mahkamah Agung (MA) terus mendorong optimalisasi penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui mediasi. Ketua MA, Sunarto, menegaskan bahwa perdamaian adalah esensi tertinggi dalam hukum, sebuah prinsip yang selaras dengan upaya menciptakan keadilan yang lebih efektif dan efisien.

Dalam acara peluncuran Pos Bantuan Hukum Desa/Kelurahan dan Pelatihan Paralegal serta Juru Damai bagi Kepala Daerah yang diselenggarakan di Kementerian Hukum, Jakarta, Sunarto menekankan pentingnya pendekatan mediasi dalam menyelesaikan berbagai konflik. Ia membandingkan mekanisme mediasi dengan jalur litigasi di pengadilan, menyoroti dampak positif yang dapat dihasilkan dari penyelesaian sengketa secara damai.

Keunggulan Mediasi Dibandingkan Litigasi

Mediasi, menurut Sunarto, menawarkan solusi yang lebih konstruktif dan berkelanjutan. Proses mediasi cenderung meminimalkan dampak negatif seperti konflik emosional dan kerugian finansial yang seringkali menyertai proses peradilan. Sebaliknya, jalur litigasi seringkali meninggalkan luka yang mendalam, bahkan ketika salah satu pihak dinyatakan menang secara hukum.

"Suatu sengketa yang diselesaikan lewat jalur litigasi tak jarang hasilnya ibarat pepatah menang menjadi arang, kalah menjadi abu. Artinya, meskipun salah satu pihak dinyatakan menang secara hukum, tetapi tak jarang meninggalkan efek negatif yang tak berkesudahan," ujarnya.

Oleh karena itu, Sunarto mendorong semua pihak untuk memperkuat pendekatan mediasi dan musyawarah mufakat dalam menyelesaikan konflik. Dengan demikian, tidak hanya keadilan formal yang tercapai, tetapi juga keadilan sosial yang hidup di tengah masyarakat dapat diperkuat.

Beban Perkara di Pengadilan

Ketua MA juga menyoroti tingginya angka perkara yang masuk ke pengadilan di seluruh Indonesia. Pada tahun 2024, pengadilan tingkat pertama menerima 2.927.815 perkara, sementara pengadilan tingkat banding menangani 30.217 perkara, dan Mahkamah Agung menyelesaikan 30.991 perkara. Angka-angka ini menunjukkan beban kerja yang sangat besar bagi lembaga peradilan.

"Oleh karena itu, penguatan mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau non-litigasi melalui mediasi yang efektif dan berbasis komunitas merupakan langkah yang sangat strategis untuk menciptakan keadilan yang lebih cepat, sederhana, dengan biaya ringan," ucap dia.

Sunarto juga mengharapkan agar pelatihan paralegal dan juru damai dapat meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menyelesaikan masalah secara mandiri. Hal ini diharapkan dapat mengurangi beban pengadilan dan mempercepat proses penyelesaian sengketa.

Lebih lanjut, Sunarto menjelaskan, mediasi bukan hanya sekadar alternatif penyelesaian sengketa, tetapi juga merupakan bagian dari upaya membangun harmoni sosial. Dengan mengedepankan musyawarah dan mufakat, masyarakat dapat menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi pembangunan dan kemajuan bersama.

Inisiatif Pos Bantuan Hukum Desa/Kelurahan

Peluncuran Pos Bantuan Hukum Desa/Kelurahan merupakan salah satu upaya MA untuk mendekatkan akses keadilan bagi masyarakat di tingkat akar rumput. Pos bantuan hukum ini diharapkan dapat menjadi wadah bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi dan konsultasi hukum, serta membantu memfasilitasi proses mediasi di tingkat desa/kelurahan.

Dengan adanya pos bantuan hukum ini, diharapkan kesadaran hukum masyarakat semakin meningkat dan kemampuan mereka dalam menyelesaikan sengketa secara damai semakin terasah. Hal ini akan berdampak positif pada terciptanya masyarakat yang lebih harmonis dan sejahtera.

Ketua MA juga mengajak seluruh elemen masyarakat untuk mendukung upaya-upaya penyelesaian sengketa melalui mediasi. Ia menekankan bahwa perdamaian adalah tanggung jawab bersama dan merupakan fondasi bagi terciptanya keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh bangsa.