Ramadan dan Manajemen Keuangan: Mengatasi 'Lapar Mata' untuk Stabilitas Finansial
Ramadan dan Manajemen Keuangan: Mengatasi 'Lapar Mata' untuk Stabilitas Finansial
Bulan Ramadan, bulan penuh berkah dan peningkatan ibadah, seringkali diiringi tantangan tersendiri dalam pengelolaan keuangan. Meskipun semangat berbagi dan beramal meningkat, kecenderungan untuk lebih boros juga kerap terjadi. Salah satu faktor yang berkontribusi signifikan adalah fenomena yang dikenal sebagai 'lapar mata', sebuah kondisi psikologis yang mendorong pengeluaran berlebihan. Pakar keuangan dan Anggota Dewan Syariah BTN, Muhammad Bagus Teguh, menjelaskan bahwa kondisi lapar, baik secara fisik maupun secara metaforis, dapat memicu perilaku konsumtif yang tidak terkendali.
Dalam wawancara di program detikSore, Teguh memaparkan bagaimana 'lapar mata' mempengaruhi pengambilan keputusan pembelian. Beliau menuturkan, "Psikologi seseorang akan berbelanja lebih banyak ketika dia lapar. Kondisi ini, baik lapar perut maupun lapar mata, mengarah pada pembelian impulsif, seringkali untuk barang-barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan." Teguh menekankan pentingnya kesadaran akan kondisi psikologis saat berbelanja. Kenyang, menurutnya, dapat mengurangi keinginan untuk membeli barang-barang yang tidak esensial. Sebaliknya, dalam kondisi lapar, individu cenderung lebih mudah tergiur oleh promosi dan barang-barang yang sebenarnya tidak termasuk dalam daftar kebutuhan. Ia mencontohkan bagaimana saat kenyang, seseorang cenderung lebih selektif dalam memilih barang di pusat perbelanjaan, sedangkan saat lapar, godaan untuk membeli barang yang tidak perlu meningkat drastis.
Lebih lanjut, Teguh mengaitkan manajemen keuangan yang efektif dengan kesehatan mental, merujuk pada buku "The Psychology of Money" karya Morgan Housel. Ia menyatakan bahwa mengelola keuangan dengan baik tidak hanya terkait dengan perencanaan anggaran, tetapi juga pengelolaan kondisi psikologis dan emosional. Rumah, menurutnya, merupakan tempat ideal untuk menanamkan kebiasaan keuangan yang sehat. Orang tua, sebagai role model utama, berperan krusial dalam mendidik anak-anak tentang pola konsumsi yang bijak. "Belajar keuangan paling benar di rumah. Anak-anak mengamati pola konsumsi orang tuanya. Seringkali, anak-anak dari orang tua yang dianggap pelit justru lebih bijak mengelola keuangannya," ujarnya.
Teguh juga menyoroti pentingnya menanamkan jiwa semangat juang pada anak. Hal ini, menurutnya, dapat mencegah anak dari sifat manja dan membantu mereka menghadapi tantangan keuangan di masa depan. Ia memberikan contoh bagaimana pengalaman masa sulit dapat membentuk pola pikir yang lebih tangguh dalam menghadapi kesulitan ekonomi, dan mengingatkan pentingnya menghindari pola asuh yang bermaksud melindungi anak dari kesulitan, karena hal tersebut justru dapat membuat anak kehilangan semangat juang yang tinggi. Hal ini, lanjut Teguh, dapat berakibat fatal bagi masa depan anak dalam mengelola keuangan, dan bahkan dalam menghadapi tantangan hidup lainnya.
Kesimpulannya, mengelola keuangan selama Ramadan membutuhkan kesadaran akan faktor psikologis, seperti 'lapar mata'. Perencanaan yang matang, kesadaran akan kebutuhan riil, dan pembelajaran manajemen keuangan sejak dini di lingkungan keluarga, merupakan kunci untuk menjaga stabilitas finansial selama bulan Ramadan dan sepanjang tahun.