Bali Perluas Larangan Sampah Sekali Pakai, Beyond Air Minum Kemasan

Pemerintah Provinsi Bali tengah berupaya memperluas cakupan larangan penggunaan produk sekali pakai, tidak terbatas pada air minum dalam kemasan (AMDK) berukuran di bawah satu liter. Kebijakan ini muncul sebagai respons terhadap permasalahan sampah yang kompleks di Pulau Dewata. Meskipun inisiatif untuk menghentikan produksi botol plastik kecil telah mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, termasuk produsen AMDK, sejumlah kalangan menilai bahwa langkah ini belum sepenuhnya mengatasi akar masalah.

Gubernur Bali, I Wayan Koster, dalam peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2025 di Badung, menegaskan komitmennya untuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai secara signifikan. Namun, Ni Wayan Riawati, tokoh dari Yayasan Bali Wastu Lestari, berpendapat bahwa fokus pada plastik saja tidaklah cukup. Menurutnya, kemunculan alternatif seperti paper cup, yang seringkali mengandung campuran plastik dan kertas, justru menimbulkan masalah baru karena sulit didaur ulang dan tidak memiliki nilai jual yang tinggi. Riawati menekankan perlunya pembatasan terhadap semua produk sekali pakai, tanpa memandang bahan pembuatnya.

Sebagai pengelola Bank Sampah Induk, Riawati menyambut baik upaya pengurangan sampah secara umum. Ia menyadari bahwa implementasi aturan ini akan menghadapi tantangan, terutama mengingat eratnya hubungan masyarakat Hindu Bali dengan berbagai upacara adat yang sering menggunakan botol minuman kecil. Data menunjukkan bahwa komposisi sampah di Bali didominasi oleh sampah organik (70%), diikuti oleh sampah non-organik (20%) yang mencakup plastik, kertas, botol kaca, dan lain-lain. Khusus untuk sampah plastik, kontribusinya mencapai sekitar 11%.

Riawati mengakui bahwa botol plastik berukuran kecil merupakan target utama dalam pengumpulan sampah karena nilai ekonomisnya yang relatif tinggi dan kemudahan daur ulangnya. Harga botol PET utuh dengan tutup dapat mencapai Rp 3.000 per kilogram. Di gudang Bali Wastu Lestari, tumpukan botol plastik sekali pakai menjadi pemandangan umum. Riawati menilai bahwa kebijakan yang hanya fokus pada larangan plastik kurang komprehensif. Sebagai praktisi pengumpulan sampah, ia berpendapat bahwa botol plastik PET memiliki tingkat daur ulang tertinggi dan nilai jual terbaik. Dalam pengelolaan sampah, Riawati lebih memprioritaskan pengurangan emisi karbon dan menekankan pentingnya kerjasama dengan collection point untuk mencapai hasil yang optimal.