Imunitas Jaksa Diuji di MK, Kejaksaan Agung Siap Hadapi Gugatan
Mahkamah Konstitusi (MK) menerima gugatan terhadap Undang-Undang Kejaksaan terkait dengan hak imunitas yang dimiliki oleh Jaksa. Gugatan ini diajukan oleh sejumlah pihak yang mempertanyakan keabsahan pasal yang mengatur tentang perlindungan hukum bagi Jaksa dalam menjalankan tugasnya. Kejaksaan Agung (Kejagung) menyatakan sikap menghormati proses hukum yang sedang berjalan dan siap memberikan penjelasan serta pembelaan terhadap konstitusionalitas undang-undang tersebut.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, menyampaikan bahwa pihaknya menghargai setiap pandangan dan upaya hukum yang dilakukan oleh masyarakat. "Kami berprinsip untuk menghormati dan menghargai berbagai pandangan, pendapat, bahkan sikap dari elemen-elemen masyarakat," ujarnya kepada awak media di Kantor Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan.
Gugatan ini berfokus pada Pasal 8 ayat (5) UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang mengatur tentang hak imunitas Jaksa. Pasal tersebut menyatakan bahwa pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap Jaksa hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung.
Para pemohon, Harmoko dan Juanda yang berprofesi sebagai advokat, menilai bahwa pasal ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Mereka beranggapan bahwa ketentuan ini memberikan perlakuan khusus kepada Jaksa dibandingkan dengan penegak hukum lainnya, seperti hakim, polisi, dan advokat.
Dalam sidang pendahuluan yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo, Juanda menjelaskan bahwa hak imunitas yang diberikan kepada Jaksa dapat menimbulkan ketidaksetaraan di hadapan hukum. Ia mencontohkan bahwa meskipun advokat memiliki hak imunitas, mereka tetap dapat diperiksa dan ditahan jika melakukan pelanggaran hukum tanpa memerlukan izin dari organisasi advokat.
Para pemohon berpendapat bahwa Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan melanggar prinsip equality before the law yang dijamin oleh UUD 1945. Mereka meminta MK untuk menyatakan bahwa pasal tersebut bertentangan dengan konstitusi, kecuali jika dimaknai bahwa pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap Jaksa hanya dapat dilakukan atas izin Presiden, dengan pengecualian dalam kasus:
- Tertangkap tangan melakukan tindak pidana.
- Disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan kemanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
- Disangka melakukan tindak pidana khusus.
Selain itu, para pemohon juga meminta agar MK menyatakan bahwa ketentuan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat kecuali jika dimaknai bahwa tindakan hukum terhadap Jaksa dapat dilakukan dengan persetujuan tertulis dari Presiden. Apabila persetujuan tersebut tidak diberikan dalam waktu 30 hari, maka proses penyidikan dan penahanan dapat langsung dilakukan.
Menanggapi gugatan ini, Harli Siregar menyatakan bahwa Kejagung akan mengikuti proses hukum yang berlaku dan menyerahkan sepenuhnya kepada hakim konstitusi untuk memberikan penilaian. Ia juga menekankan pentingnya untuk memahami kewenangan yang dimiliki oleh Korps Adhyaksa dalam melindungi kepentingan masyarakat. "Kewenangan mana yang berlebihan? Nah itu saya kira masyarakat dan media harus juga kritis terhadap pandangan-pandangan itu," tegasnya.
Kejaksaan Agung menegaskan komitmennya untuk terus melindungi kepentingan masyarakat dan menjalankan tugas serta wewenangnya sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Putusan MK atas gugatan ini akan menjadi landasan penting dalam menentukan arah penegakan hukum di Indonesia, khususnya terkait dengan hak imunitas Jaksa.