Pertokoan Kranji di Ambang Kehancuran: Pedagang Menjerit Akibat Sepi Pembeli dan Tergerus Era Digital

Gelombang kesulitan menerjang para pedagang di Pertokoan Kranji, Bekasi, membawa mereka ke jurang kebangkrutan. Kondisi 'hidup segan mati tak mau' menjadi gambaran nyata, di mana mereka tetap membuka toko meski pusat perbelanjaan itu kian sepi pengunjung.

Edi (56), seorang pedagang pakaian, menjadi salah satu potret pilu. Duduk lesu di depan tokonya, matanya terpaku pada layar ponsel, menanti kedatangan pembeli yang tak kunjung tiba. Ia mengenang masa lalu, ketika tokonya dipenuhi pembeli hingga kewalahan melayani. Namun, era digital dengan maraknya toko online mengubah segalanya. Penurunan jumlah pengunjung terus berlanjut, bahkan semakin parah.

"Dulu online sudah ada sebelum Covid. Pas masuk Covid, parah banget. Tapi itu masih mendingan. Covid tuh mendingan daripada sekarang. Wah kalau sekarang malah parah, nggak ada pengunjung," ungkap Edi, menggambarkan betapa suramnya situasi saat ini.

Akibat sepinya pertokoan, Edi terpaksa menutup salah satu dari dua tokonya. Jumlah karyawannya pun menyusut drastis, dari empat menjadi hanya satu orang. Pendapatan yang minim membuatnya sering pulang dengan tangan hampa, memaksa dirinya untuk mengandalkan tabungan demi bertahan hidup. Bahkan, ia mengaku sudah kehabisan modal untuk mempertahankan usaha.

"Kalau dulu bisa bertahan hidup, kalau sekarang nih laku ntar sampai rumah habis. Ya akhirnya cuma habiskan uang yang ada di rumah kan," keluhnya.

Saking sulitnya mencari pelanggan, Edi berencana menutup toko terakhirnya di Pertokoan Kranji. Ia merasa sudah tidak memiliki modal lagi untuk melanjutkan usaha. Ketidakpastian menyelimuti masa depannya.

"Uang simpanan habis. Ini kayaknya nggak lama lagi, pengunjungnya nggak ada. Mungkin sampai habis kontrak ini. Kontrak sampai bulan pertama tahun depan (Januari 2026). Cuma kalau memang nggak sanggup, ya nggak di paksa," tuturnya dengan nada pasrah.

"Nggak tahu mau gimana, kita usaha mau cari apa lagi nggak tahu. Kita sudah putar-putar cari mau usaha apa. Kalau nggak usaha kita di sini mau makan apa," imbuhnya, mencerminkan kebingungan dan keputusasaan.

Kisah serupa dialami Julia (68), seorang pedagang perabot rumah tangga. Ia pun tengah mempertimbangkan untuk menutup toko atau terus berjualan. Hasil penjualannya hanya cukup untuk bertahan, tanpa ada keuntungan lebih. Padahal, ia telah mencoba memanfaatkan penjualan online.

"Online ada sedikit-sedikit. Buat putaran modal doang, nutup sih nggak. Kalau sekarang sih (penjualan) lebih banyak online ya. Lebih dari setengah, sekitar 80% juga lah itu dari online," jelas Julia.

Ia juga masih mempekerjakan dua hingga tiga pekerja harian. Jika tidak ada pelanggan, ia terpaksa menombok gaji karyawan. Meskipun toko yang ditempatinya adalah milik pribadi, Julia tak punya pilihan lain selain gulung tikar jika kondisi ini terus berlanjut.

"Rencana mau tutup. Rencana ya kalau kita nombok-nombok terus kan ini sih kita milih tutup," pungkasnya, menyiratkan ketidakpastian akan masa depannya.