Pakar Hukum UGM Ungkap Modus Suap Melalui Perantara dalam Sidang Kasus Hasto Kristiyanto
Ahli Hukum Pidana UGM Beberkan Kemungkinan Suap Melalui Perantara dalam Sidang Kasus Dugaan Keterlibatan Hasto Kristiyanto
Seorang ahli hukum pidana dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Muhammad Fatahillah Akbar, memberikan keterangan yang signifikan dalam sidang kasus dugaan suap dan upaya menghalang-halangi penyidikan yang menyeret Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI-P, Hasto Kristiyanto. Dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Fatahillah menjelaskan bahwa praktik suap kepada pejabat negara dapat dilakukan melalui pihak ketiga atau perantara.
Pernyataan ini muncul ketika jaksa penuntut dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bertanya mengenai kemungkinan pemberian suap dilakukan tidak secara langsung, melainkan melalui perwakilan. Fatahillah, yang dihadirkan sebagai saksi ahli, mengkonfirmasi bahwa secara teoritis, hukum pidana memungkinkan hal tersebut.
"Apakah secara teori hukum pidana pemberian yang dilakukan oleh pelaku suap itu bisa dilakukan secara langsung atau juga bisa dilakukan melalui perantara?" tanya jaksa KPK.
Fatahillah kemudian merujuk pada Pasal 55 Ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur tentang pidana penyertaan. Pasal ini menjadi dasar bahwa dalam suatu tindak pidana, termasuk suap, memungkinkan adanya keterlibatan berbagai pihak dengan peran yang berbeda.
Ia menjelaskan bahwa dalam unsur delik yang didakwakan kepada terdakwa, kerap kali disertakan pasal tentang "ikut serta" atau melakukan pidana secara bersama-sama. Fatahillah mencontohkan, dalam kasus suap, terdapat rangkaian tindakan yang melibatkan beberapa orang, mulai dari pemberi hingga penerima, yang mungkin dilakukan secara berjenjang atau melalui perantara sebelum akhirnya sampai kepada pejabat yang dituju.
"Jadi itu dimungkinkan saja," tegas Fatahillah.
Lebih lanjut, jaksa KPK meminta penjelasan mengenai kapan suatu tindakan suap dianggap selesai dan memenuhi unsur perbuatan pidana. Fatahillah menjelaskan bahwa unsur "memberi" harus terpenuhi untuk membuktikan pasal suap. Namun, keberhasilan atau kegagalan tujuan suap tersebut tidak menjadi penentu utama.
"Dibuktikan lebih lanjut apakah terdapat maksud sebagaimana di dalam unsur tadi, tidak perlu terbukti apakah terlaksana atau tidak," jelas Fatahillah. Hal ini berarti, meskipun tujuan suap tidak tercapai, tindakan memberi suap itu sendiri sudah cukup untuk memenuhi unsur pidana.
Keterangan ahli ini memberikan gambaran yang lebih komprehensif mengenai modus operandi suap yang mungkin terjadi, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan pejabat publik. Dengan adanya kemungkinan suap melalui perantara, proses pembuktian dan penelusuran aliran dana menjadi semakin kompleks. Hal ini menuntut ketelitian dan kehati-hatian dalam penyidikan untuk mengungkap seluruh pihak yang terlibat dalam praktik korupsi.