Posisi Tegas Indonesia: Normalisasi Hubungan dengan Israel Tergantung Pengakuan Kemerdekaan Palestina

Diplomasi Indonesia di Bawah Prabowo: Syarat Pengakuan Palestina untuk Hubungan dengan Israel

Pernyataan tegas Presiden Prabowo Subianto mengenai syarat pembukaan hubungan diplomatik antara Indonesia dan Israel telah menggema di kancah internasional. Indonesia akan mempertimbangkan normalisasi hubungan dengan Israel, namun hanya jika Israel terlebih dahulu mengakui kemerdekaan penuh Palestina. Langkah ini bukan sekadar pernyataan politik, melainkan sebuah manuver diplomasi yang mencerminkan pendekatan baru Indonesia dalam politik luar negeri: berani, terukur, dan berlandaskan prinsip.

Presiden Prabowo, sebagai kepala negara dan tokoh yang berpengaruh dalam percaturan geopolitik, mengambil peran sentral dalam diplomasi Indonesia. Dengan berani namun tetap adil, beliau menyampaikan pandangan Indonesia kepada dunia. Gaya diplomasi seperti inilah yang dinantikan dari negara-negara berkembang: kemampuan untuk bersikap tanpa tunduk, bernegosiasi tanpa mengorbankan kehormatan bangsa.

Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, menegaskan dukungan penuh partainya terhadap langkah strategis Presiden Prabowo. Partai Golkar berkomitmen untuk memastikan bahwa kebijakan luar negeri Indonesia tetap berpegang pada konstitusi, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, dan selaras dengan semangat kebebasan global.

Refleksi Sejarah dan Prinsip Anti-Kolonialisme

Pernyataan Presiden Soekarno pada tahun 1962 kembali relevan dalam konteks ini: "Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel." Pernyataan ini bukanlah cerminan kebencian, melainkan ungkapan prinsip anti-kolonialisme yang menjadi fondasi perjuangan bangsa Indonesia. Soekarno tidak menolak keberadaan Israel sebagai bangsa, tetapi menentang tindakan penjajahan yang dilakukannya. Dengan demikian, jika Palestina merdeka dan penjajahan berakhir, terbuka peluang untuk kerja sama yang didasarkan pada keadilan dan kemanusiaan.

Solidaritas Kemanusiaan Lintas Agama

Perjuangan bangsa Palestina bukanlah sekadar isu agama atau konflik antar kepercayaan. Di wilayah Palestina, hidup berdampingan umat dari berbagai agama dan keyakinan, termasuk Islam, Kristen, Druze, dan Yahudi. Oleh karena itu, menyempitkan perjuangan kemerdekaan Palestina hanya sebagai narasi keislaman adalah sebuah kekeliruan. Ini adalah tentang hak hidup sebagai negara yang merdeka, tentang keadilan global, dan tentang hak untuk menentukan nasib sendiri.

Palestina adalah masalah kemanusiaan universal yang melampaui batasan agama. Konflik ini melibatkan seluruh warga Palestina tanpa memandang keyakinan mereka. Isu Palestina adalah perjuangan hak asasi manusia, otonomi, dan kemerdekaan.

Palestina adalah cerminan ketidakadilan internasional yang belum terselesaikan. Oleh karena itu, memperjuangkannya adalah tanggung jawab moral seluruh umat manusia, tanpa memandang agama atau keyakinan. Kemanusiaan tidak mengenal sekat agama, dan keadilan tidak boleh dibatasi oleh interpretasi mayoritas.

Diplomasi Bersyarat sebagai Strategi

Langkah Presiden Prabowo yang menegaskan bahwa hubungan diplomatik hanya akan terjalin setelah pengakuan terhadap Palestina adalah strategi diplomasi bersyarat yang sah menurut hukum internasional. Indonesia tetap berpegang pada prinsip, namun dengan taktik yang lebih terukur dan strategis.

Posisi strategis Indonesia di arena diplomasi global sebagai negara Muslim terbesar, pemimpin ASEAN, dan anggota G20 menuntut peran aktif. Indonesia harus menjadi penggerak, bukan sekadar pengikut. Diplomasi bersyarat adalah langkah nyata dan cerdas dalam mencapai tujuan tersebut.

Partai Golkar memandang diplomasi sebagai instrumen perjuangan yang digerakkan oleh akal sehat, dijiwai oleh konstitusi, dan diarahkan untuk membela keadilan. Dukungan penuh terhadap inisiatif Presiden Prabowo didasarkan pada prinsip, bukan pragmatisme.

Jika Israel menolak syarat tersebut, dunia akan menyaksikan bahwa Indonesia telah membuka pintu perdamaian, namun Israel sendiri yang menutupnya. Sebaliknya, jika Israel bersedia mengakui Palestina demi menjalin hubungan diplomatik dengan Indonesia, sejarah akan mencatat sebuah kemenangan tanpa kekerasan.

Sejarah tidak ditulis oleh mereka yang hanya berteriak lantang, tetapi oleh mereka yang berani mengambil keputusan sulit demi masa depan yang lebih adil. Indonesia tidak pernah meninggalkan Palestina, dan kini melangkah maju dengan strategi yang jelas dan berpegang teguh pada nilai-nilai kemanusiaan universal.

Ali Mochtar Ngabalin, Ketua DPP Partai Golkar Bidang Kebijakan Politik Luar Negeri dan Hubungan Internasional, Guru Besar Hubungan Internasional Busan University of Foreign Studies (BUFS) Korea Selatan, turut memberikan pandangannya mengenai pentingnya langkah ini dalam konteks hubungan internasional.