Perburuan Spektrum Frekuensi 2000 MHz: Persaingan Sengit Operator Seluler di Indonesia

Perburuan Spektrum Frekuensi 2000 MHz: Persaingan Sengit Operator Seluler di Indonesia

Industri telekomunikasi Indonesia memasuki babak baru dengan dilelangnya spektrum frekuensi yang signifikan, mencapai lebih dari 2000 MHz pada tahun 2025. Hal ini memicu persaingan ketat di antara operator seluler utama, Telkomsel, Indosat Ooredoo Hutchison (IOH), dan XL Smart, dalam memperebutkan sumber daya yang krusial untuk pengembangan layanan 5G dan peningkatan kualitas jaringan secara keseluruhan. Lelang ini menjadi sorotan mengingat jumlah spektrum yang ditawarkan jauh lebih besar dibandingkan lelang-lelang sebelumnya, yang biasanya hanya sekitar 50 MHz. Besarnya potensi spektrum ini diharapkan mampu mendorong percepatan digitalisasi di Indonesia, khususnya di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar).

Salah satu fokus utama perburuan spektrum ini adalah pita frekuensi 900 MHz, yang memiliki nilai strategis karena telah memiliki ekosistem yang matang. XL Smart, hasil merger XL Axiata dan Smartfren, memiliki kepentingan khusus terhadap pita ini, mengingat sejarahnya sebagai salah satu pemegang spektrum tersebut. Meskipun Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah menyetujui merger tersebut dengan syarat pengembalian sebagian spektrum 900 MHz, XL Smart masih berpotensi untuk kembali mendapatkan akses ke pita frekuensi ini melalui lelang. Namun, biaya regulatory cost yang tinggi untuk spektrum 900 MHz, diperkirakan mencapai sekitar Rp 1 triliun per tahun, menjadi pertimbangan serius bagi operator. Persaingan untuk mendapatkan kembali spektrum 900 MHz ini diprediksi akan sangat ketat karena efisiensi dan optimalisasi penggunaan spektrum menjadi kunci dalam meraih keuntungan.

Selain spektrum 900 MHz, lelang juga mencakup pita frekuensi lain yang menarik minat operator, seperti 1,4 GHz untuk layanan internet murah di daerah 3T, 700 MHz (ex-televisi siaran analog), 2,6 GHz, dan yang paling signifikan, 1600 MHz di spektrum 26 GHz untuk layanan 5G. Kominfo menargetkan penyediaan internet murah dengan kecepatan 100 Mbps seharga Rp 100.000 di daerah terpencil melalui spektrum 1,4 GHz. Target ini menarik minat tidak hanya operator seluler besar, tetapi juga penyelenggara jasa internet (PJIs) anggota APJII. Namun, untuk layanan 5G, operator membutuhkan setidaknya seratusan MHz spektrum yang kontinyu, suatu tantangan yang memerlukan investasi besar dan strategi yang matang. Kondisi spektrum yang terfragmentasi pada operator saat ini juga menjadi kendala dalam pengembangan layanan 5G yang optimal.

Persaingan ini menghadirkan dilema bagi pemerintah. Di satu sisi, lelang spektrum frekuensi merupakan sumber pendapatan negara yang signifikan. Di sisi lain, pemerintah juga perlu memastikan harga spektrum yang kompetitif agar tidak menghambat perkembangan industri telekomunikasi dan pemerataan akses internet. Pertanyaan yang muncul adalah apakah pemerintah akan menurunkan harga patokan spektrum, mengingat jumlah spektrum yang dilelang jauh lebih besar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya? Apakah kaidah pasar, dimana harga berbanding terbalik dengan ketersediaan, akan berlaku dalam lelang ini? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan arah perkembangan industri telekomunikasi Indonesia di masa depan, dan ketersediaan layanan internet berkualitas tinggi bagi seluruh lapisan masyarakat.

Ketiga operator seluler utama memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing. Telkomsel, dengan basis pelanggan terbesar, memiliki posisi yang kuat, namun tetap membutuhkan spektrum tambahan untuk layanan 5G. IOH dan XL Smart, meskipun memiliki basis pelanggan lebih kecil, bisa mengandalkan dukungan dari perusahaan induk, namun risiko fluktuasi arus kas perlu dipertimbangkan. Lelang spektrum frekuensi tahun 2025 ini bukan hanya pertarungan teknologi, tetapi juga pertarungan strategi bisnis dan keuangan yang menentukan masa depan industri telekomunikasi Indonesia.